Kalau anda bukan penduduk asli Jogjakarta dan hendak berkunjung ke Jogjakarta, lokal, pernahkah anda bertanya kepada penduduk lokal seperti ini:
Gudeg mana sih yang paling enak?
Pada bulan Juli kemarin, saya berkesempatan mengunjungi Kota Jogjakarta kembali untuk ketiga kalinya dalam hidup saya. Kali pertama saat wisata belajar SMP dan kali kedua saat wisata belajar SMA. Kunjungan yang singkat serta sudah diatur oleh pihak sekolah. Untuk kunjungan kali ini, saya, suami beserta anak akan menghabiskan kira-kira sebulan di Kota keraton tersebut. Tidak ada yang mengatur perjalanan serta rentang waktu yang cukup lama. Yuk, mari bikin daftar kunjungan wisata dan kuliner. Menjajal berbagai gudeg pun termasuk dalam daftar kuliner kami.
Berbekal kegamangan, kepolosan dan ketidak-tahuan perihal gudeg, saya mencoba bertanya pada seorang teman dekat saudara saya yang lahir dan tumbuh di Jogjakarta. Saudara saya sangat merekomendasikan bertanya kepadanya karena konon katanya hobi kuliner. Akhirnya saya menanyakan pertanyaan seperti pertanyaan diatas.
Spontan jawaban yang datang jauh lebih panjang ketimbang jawaban satu baris yang diharapkan.
"Mau gudeg basah kering, pagi apa malem? kalo mau malam ada Gudeg Mercon Bu Tinah, Gudeg Bromo, Gudeg Pawon. Ada Gudeg Sagan juga. Kalau gudeg kering ada Gudeg Bu Dar, Gudeg Hj. Ahmad, Gudeg Yu Djum."
Panjang kan 👀.
Akhirnya dalam tempo sebulan, saya berhasil mencoba 6 gudeg:
- Gudeg Djuminten
- Gudeg Sagan
- Gudeg Yu Djum
- Gudeg Mbah Lindu
- Gudeg Bromo (Bu Tekluk)
- Gudeg Pawon
Gudeg Djuminten
Gudeg Djuminten berlokasi di dekat Tugu Pal Putih, yakni tugu dimana banyak turis berswafoto ria. Kami datang pagi hari sekitar jam 8. Menempati pertokoan, tempat makan ini cukup lengang dengan dipenuhi beberapa warga yang mencari makan sehabis berolahraga. Kami memesan Gudeg telor ayam suwir dengan harga 20 ribu-an. Gudeg Djuminten ini merupakan gudeg basah. Rasanya tidak terlalu manis, gurih tetapi tidak cukup memasuki kategori sangat berkesan bagi saya. Kreceknya enak dan tidak pedas. Bagi yang lidahnya tidak toleransi terhadap yang terlalu manis dan menginginkan gudeg enak, Gudeg Djuminten ini cocok untuk dicoba.
Gudeg Sagan
Gudeg Sagan berlokasi diantara kampus UGM dan UNY. Menempati gedung yang cukup bagus dengan lantai atas yang merupakan kos-kosan. Kami datang pada malam hari, setelah makan malam di tempat lain (iya, anggap saja makan tahap ke-2 😋). Akhirnya diputuskan memesan nasi gudeg telor sayap dengan harga 25 ribu. Harganya lebih tinggi dari gudeg Djuminten, cuma rasa-rasanya cukup patut mengingat tempatnya. Karena makanan datang sebelum saya dan Hasan balik dari toilet, jadi gudeg sudah dimakan sebagian oleh suami. Jadi yah,, mohon maaf foto makanan dan ruko saya ambil dari gudegsagan.com ya!
Merupakan gudeg basah. Rasanya luar biasa. Enak, gurih, tidak manis. Sangat enak, tapi menurut saya rasanya sudah tidak tradisional layaknya gudeg lainnya. Jadi kira-kira semacam comfort food. Sudah pasti enak dan rasanya cenderung modern. Oh ya, Gudeg Sagan juga sudah buka cabang di Senopati, Jakarta. Tetapi tentunya dengan harga yang sudah disesuaikan. Sebagai contoh, kalau di Jogja saya membayar 25 ribu untuk gudeg telor sayap, kalau di Jakarta harganya menjadi 45 ribu 🙈.
Gudeg Yu Djum
Kalau kita melihat orang yang membawa oleh-oleh Gudeg ke Jakarta, pasti biasanya yang saya lihat adalah kardus Gudeg Yu Djum. Ya, Gudeg Yu Djum ini merupakan gudeg dagang yang paling populer. Cabangnya super banyak, ada dimana-mana. Karena merupakan gudeg kering jadi cenderung lebih awet dan praktis sering menjadi oleh-oleh. Karena teramat penasaran, saya mencoba Gudeg Yu Djum cabang Laksda Adi Sucipto yang di seberang bandara karena dekat dengan tempat tinggal saya.
Saya memesan Gudeg Telor dengan harga 18 ribu. Yu Djum terkenal dengan rasa manis gudegnya. Karena gudeg kering jadi bumbu lebih terserap. Nah, rasa kreceknya berasa pedasnya, jadi memberikan kontras rasa dari rasa gudeg itu sendiri. Karena HP saya mati pada waktu itu, jadi mohon maaf lagi, gambar saya ambil dari internet.
Gudeg Mbah Lindu
Datang dengan Bus Transjogja, saya turun di halte Malioboro 1. Sembari sedikit menikmati suasana pagi di Malioboro, saya berbelok masuk ke Jalan Sosrowijayan. Jika melihat poskamling disamping Hotel Grage, disitulah Gudeg Mbah Lindu berada. Kalau 3 gudeg sebelumnya merupakan gudeg restoran yang jam bukanya layaknya resto biasanya, mulai dari gudeg ke-4 ini adalah gudeg kaki lima dengan jam buka sangat terbatas
Sebelum datang ke lokasi, saya sempat melakukan survei dengan membaca informasi di internet. Buka mulai jam 5 dan orang sudah berbondong-bondong mengantri, apalagi jika hari libur. Konon katanya, Gudeg ini memberlakukan harga yang berbeda kepada pembeli yang berbeda pula. Ada yang berpendapat harganya akan lebih murah jika berbicara menggunakan Bahasa Jawa. Ada juga yang bilang meski sudah berbicara Bahasa Jawa tetap akan ketahuan kalau bukan penduduk asli. Yang menjual juga sudah bukan Mbah Lindu asli, tetapi anaknya.
Mengetahui keramaian seperti itu, saya memutuskan datang pukul 10 dan di hari kerja. Wow, tidak ada pengunjung lain yang membeli pada saat itu Saya membeli gudeg sayap seharga 25 ribu. Mendengar harganya cuma segitu dalam hati bernafas lega karena ekspektasi saya bakal 30 ribu keatas. Saya juga tidak mengeluarkan HP untuk foto sebelum harga disebutkan sebagai salah satu langkah saya untuk diberikan harga yang tidak mahal. Gudeg saya bungkus agar bisa santai menikmatinya nanti.
Karena saya kecewa Museum Pura Pakualaman tutup, akhirnya saya memutuskan makan di barisan meja makan di dekat sentra makanan. Ini merupakan gudeg favorit saya pribadi. Rasanya manis dan gurih meski gudeg basah. Banyak kuahnya dengan campuran potongan cabe merah yang digeprek. Pedasnya cocok di lidah saya. Rasa gudeg dan kreceknya relatif sama, tidak areh.
Gudeg Bromo
Disebut Gudeg Bromo karena berlokasi di Jl. Gejayan dekat gang Bromo. Bukanya mulai jam 23.00 (!!) yakni setelah deretan ruko di jalan tersebut tutup. Gudeg ini merupakan salah satu solusi jika tengah malam dilanda kelaparan. Kabarnya, yang menyajikan gudeg si ibu sendiri. Karena sering terkantuk-kantuk atau tekluk dalam Bahasa Jawa, lantas gudeg ini juga terkenal dengan nama Gudeg Tekluk. Jangan salah, walau mulai bukan pukul 23.00, saat hari libur orang-orang sudah ramai mengantri. beberapa testimonial mengatakan jika ingin makan santai maka datanglah jam 4 atau 5 pagi.
Termasuk gudeg malam dan kaki lima. Kami memutuskan membeli gudeg basah ini jam 4 pagi dengan maksud menjadi menu sahur kami. Dan benar kata suami, lauk masih banyak dan pembeli gudeg sepi. Kami memesan gudeg telor ayam suwir dengan harga 20 ribuan.
Gudeg dengan cita rasa pedas dan gurih. Saya benar-benar ketagihan makan secara perlahan. Rasa kreceknya sangat areh dan lebih pedas ketimbang rasa gudeg itu sendiri. Aksen rasa yang kurang saya gemari. Terdapat ekstra rawit merah jika ingin menambah sensasi rasa pedas.
Gudeg Pawon
Pawon, atau dalam Bahasa Jawa yang artinya dapur. Betul sekali, kita membeli gudeg ini langsung dari dapur pembuatan. Awalnya, gudeg ini dijual di pasar pagi. Namun karena lama-kelamaan banyak pembeli langsung membeli malamnya di dapur karena ketagihan dengan cita rasanya, lantas pemilik memilih menjual gudeg ini mulai pukul 22.00. Karena saking banyak yang mencari, jam 21.15 sudah ada yang antri. jam 21.30 pintu mulai dibuka namun belum dilayani. Sejam setelah buka, ayam sudah habis. Ya, gudeg ini hanya buka mulai pukul 22.00 hingga pukul 24.00 saja. Sangat efektif dan efisien.
Kami memesan via gojek karena suami malas mengantri dan kasian anak kami kalau harus menunggu jam 22.00 hanya untuk mengantri makanan kami. pukul 22.01 saya masukkan pesanan gojek, dan pukul 22.40 gojek sudah datang. Ternyata tidak begitu ramai seperti yang dibacarakan, mungkin karena bukan hari libur. Karena sudah sangat malam, gudeg kami simpan untuk dimakan keesokan hari untuk sahur.
Rasanya memang legendaris, termasuk gudeg basah namun rasanya kering. Suami gudeg paha ayam dan saya gudeg ati ampela seharga 24 ribu dan 18 ribu. Merupakan harga paling murah dari semua gudeg yang sudah saya coba. Rasanya pedas merata, kreceknya enak dan lembut, gudegnya juga imbang antara manis dan gurih. Jika ingin menikmati sensasi lebih pedas bisa sambil mengunyah rawit hijau yang diberikan. Gudeg pawon ini merupakan gudeg terakhir yang kami coba di Jogja sekaligus sebagai penutup kuliner.
Akhirnya saya cukup paham mengapa penduduk asli Jogja susah menentukan mana gudeg yang paling enak. Tiaip orang punya preferensi rasa masing-masing. Selain itu, tiap gudeg punya citarasa khas rasa masing-masing, tergantung pembeli memiliki lidah seperti apa.
Tidak ada komentar