Pandemi Covid-19 dimana banyak kantor yang memberlakukan WFH (Work From Home) ditambah PJJ 'Pembelajaran Jarak Jauh" bagi anak sekolah membuat kendaraan yang berlalu lalang di jalanan ibu kota menurun drastis. Di suatu pagi kala saya sedang menuju ke arah selatan melalui jembatan Antasari, terlihat jelas Gunung Salak dan Gunung Gede di kejauhan ufuk. Suatu pemandangan yang amat langka. Tidak disangka, kedua gunung tersebut dapat dilihat dari jarak sejauh itu, padahal biasanya dulu hanya dapat saya lihat menggunakan tol Jagorawi ke arah Selatan. Malah kata teman saya yang berkantor di bilangan Jakarta Pusat, kedua gunung itu juga terlihat dari sana! Betapa cerahnya langit Jakarta.
Namun, apakah hal demikian bisa terjadi lagi apabila Jakarta kembali ke situasi normal dimana kendaraan kembali ke jalanan dengan volume aslinya?
Apa itu Program Langit Biru?
Program Langit Biru merupakan program pengurangan polusi udara yang akan dimulai dari wilayah Bali, Tangerang Selatan, Gianyar, Palembang, dan wilayah lainnya. Tujuannya adalah mengantisipasi krisis lingkungan akibat polusi udara yang dicetuskan oleh sumber bergerak dan tidak bergerak. Program ini sudah mendapat dukungan regulasi dari pemda, YLKI, KemenLH, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, dan Kemenkes. Salah satu tahapnya adalah pengurangan penggunaan premium (RON 88) dengan cara memberikan diskon awal pertalite (RON 90).
Sebenarnya, Program Langit Biru ini bukan barang baru. Program ini sudah mulai digaungkan sejak 25 tahun silam oleh KemenLH melalui Permen LH No. 15 Tahun 1996. Delapan tahun kemudian muncul Kepmen LH No. 141/2003 yang mengatur emisi gas buang pada kendaraan bermotor. Pada saat itu masih berupa BBM standar Euro 2. 14 tahun berselang, muncul kembali Kepmen KLHK N0. 20/2017 yang mewajibkan kendaraan bermotor menggunakan BBM standar Euro 4. Keputusan ini dinilai cukup telat mengingat beberapa negara maju lain sudah menerapkan standar Euro 5 ataupun 6.
Meski Kadar emisi yang dikeluarkan sumber tidak bergerak seperti cerobong asap, menurut data sebanyak 75% sumber utama polusi udara adalah dari sumber bergerak, yaitu sektor transportasi darat.
Paris Protocol
sumber: diplomatie.gouv.fr |
Sinergi dalam Bijak Berkendara
1. Masyarakat
2. Pemangku Kebijakan
a. Uji Emisi
Per 24 Januari 2020, kendaraan bermotor di Jakarta usia 3 tahun ke atas wajib dilakukan uji emisi. Ini sesuai dengan Pergub 66/2020. Apabila tidak lulus uji emisi, para pemilik kendaraan dikenai denda dengan kisaran Rp 250.000 - Rp 500.000 berdasarkan UU LLAJ. Dalam uji emisi, ada dua kandungan yang dijadikan parameter lolos atau tidaknya, contohnya kandungan CO (karbon monoksida) dan HC (Hidrokarbon). Kendaraan bermotor yang berbahan bakar bensin premium dan solar, apalagi yang memang berumur tua sudah hampir pasti tidak akan lolos uji emisi.
b. Konsistensi Kebijakan
Pada tahun 2015, Presiden Joko Widodo membentuk Tim Reformasi Mafia Migas yang menunjuk Ekonom Faisal Basri sebagai ketua. Salah satu rekomendasi Tim Reformasi Mafia Migas adalah meminta pemerintah untuk menghapus BBM premium. PT Pertamina selaku operator menyanggupi namun minta jeda waktu sampai 2 tahun. Pemerintah sempat menngendalikan premium secara ketat di daerah Jawa, Madura, dan Bali pada tahun 2017. Namun sayang, pada pertengahan 2018 kebijakan ini dibatalkan diakibatkan faktor politis.
Apakah yang terjadi? Mungkinkah ada politik transaksional antara pemilu dan mafia migas? Entahlah.
Peningkatan kualitas BBM dapat dilakukan dengan melakukan transisi dari RON 88 (Premium) menjadi RON 90 (Pertalite) dan RON 92 (Pertamax). Amat disayangkan, di Jakarta sendiri terdapat sekitar 5 pom bensin yang menjual premium sementara di area Jawa lainnya sudah hampir tidak ada.
c. Meningkatkan manajemen dan infrastruktur lalu lintas
3. Sektor Bisnis
Pengembangan teknologi otomotif yang mendukung bbm ramah lingkungan
Cara kerja catalytic converter (sumber: alliedmuffler.com) |
Ada 3 faktor yang harus saling bersinergi untuk mengurangi emisi pencemaran udara dari kendaraan bermotor. Faktor tersebut adalah kualitas emisi, teknologi otomotif, dan manajemen lalu lintas. Catalytic Converter atau Konverter Katalisis adalah teknologi untuk meningkatkan penyempurnaan motor bensin maupun diesel yang akan diimbangi pemanfaatan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. Perangkat ini mulai digunakan pada tahun 2007 saat masih menggunakan standar Euro 2. Untuk memenuhi standar itu, setiap kendaraan bermesin diesel dan bensin harus menggunakannya.
Konverter katalisis sendiri berupa katalisator yang dipasang di ruang setelah saluran buang. Fungsinya menyaring hidrokarbon (bensin yang belum atau tidak terbakar) dan polutan lain yang dihasilkan oleh mesin. Sayangnya katalisator adalah barang mahal karena terbuat dari platina paladium. Nilai logam yang digunakan pada konverter katalisis bisa mencapai 60-70 persen dari total harga konverter katalisis. Sebagai contoh, jika logam yang digunakan untuk konverter katalisis bernilai 5 juta, maka harga konverter katalisisnya saja bisa seharga 3 - 3,5 juta!
Teknologi otomotif akan diubah atau ditingkatkan menjadi lebih ramah lingkungan melalui penyempurnaan desain maupun perlengkapan pengolahan emisi gas buang. Pengembangan teknologi hibrida bensin-listrik atau eco-car, dan fuel cell diharapkan tidak akan menghasilkan gas buang beracun.
diperlukan kesadaran masyarakat ya mbak supaya kita bisa mewujudkan dan menyukseskan program langit biru ini
BalasHapusBetul! Semoga kita semua saling bergandengan tangan
HapusHaloo mbak. Saya tinggal di Palembang nih. Sebab banyak yg mengurangi aktivitas di luar rumah. Emisi dari kendaraan bermotor jadi berkurang yaaa dan langit jadi lebih cerah nampaknya. Ditambh lagi beberapa hari yg lalu sempat viral kan foto gunung dari Jakarta..
BalasHapusSemoga kondisi langit kita tetap baik, atau bahkan lebih baik yaaak 😀
Banget mba! bukan hoax banget. Saya juga jadi saksi ngeliat gunung salak sama pangrango dari tempat yang biasanya ga keliatan. Aamin,, semoga bisa terlihat seterusnya huhu
Hapus