Saat menulis rekomendasi kafe di Chiang Mai ini, saya teringat perkataan dari Tejo Pramono, salah sorang pendiri Kedai Kopi Ranin yang terletak di bilangan Kota Bogor.
“Petani kita menjadi tak berdaya, hasil panen kopi kita habis direguk oleh tengkulak. Tengkulak semakin kaya raya, petani tidak mendapatkan apa-apa.”
Beberapa tahun lalu, saya dan rekan saya berkunjung ke sebuah kedai kopi di bilangan Bogor bernama Kopi Ranin. Kabarnya, sang pendiri adalah mantan aktivis kampus.
Pak Tejo sang pendiri pun berkisah bagaimana ia mulai merintis usaha Kopi Ranin tersebut. Ia berkisah kalau salah satu tujuan mendirikan Kopi Ranin ini adalah untuk membantu mensejahterakan petani-petani kopi agar tidak selalu serta-merta “dijajah” oleh tengkulak.
Jiwa saya menjadi sedikit bergejolak setelah mendengarkan cerita tersebut. Paradigma saya soal kedai kopi pun berubah. Saya pun menjadi semakin selektif saat memutuskan akan menyambangi kedai kopi mana. Apakah kedai kopi budak kapitalis, atau kedai kopi yang merupakan “teman” yang sama-sama berjuang untuk kesejahteraan petani.
Ini juga mindset yang saya bawa saat menjajal kafe Chiang Mai saat kami sekeluarga tinggal disana selama sebulan.
Kamu akan tahu perbedaan nuansanya dan “jiwa” yang dibawa oleh pemilik kafe di Chiang Mai setelah menyimak cerita napak tilas saya di pelbagai kafe Chiang Mai.
Selamat datang di Chiang Mai
Chiang Mai adalah Kota terbesar kedua di Thailand yang terletak di sebelah utara Thailand dan berada di dekat gunung Suthep dan Inthanon. Kurang lebih Chiang Mai kayak Bandung lah. Udaranya juga lebih enak daripada di Bangkok (katanya).
Chiang Mai adalah kota yang kental unsur budayanya, jadi semacam Yogyakarta-nya Thailand. Bentuk kotanya juga unik. Jadi, ada area yang benar-benar berbentuk kotak dan dikelilingi oleh parit buatan. Ini merupakan denah kota Chiang Mai asli sejak jaman dulu. Alasan mereka membuat kota semacam ini adalah untuk mempertegas benteng Kerajaan Lanna. Betul, berbeda dengan Thailand yang di bawah kerajaan Siam, Chiang Mai berada dibawah Kerajaan Lanna. Kerajaan Siam dan Lanna pun punya hubungan persahabatan dan konflik masing-masing.
Tidak hanya kota yang sarat nilai historis, Chiang Mai juga dikenal dengan kultur kopinya yang terkenal. Seperti apakah kultur kopi Chiang Mai hingga sampai dikejar oleh turis mancanegara? Apa sajakah rekomendasi Kafe di Chiang Mai?
Rekomendasi Kafe di Chiang Mai
1. Graph Cafe
Alamat: 25/1 Ratvithi 1, Mueang Chiang Mai District, Chiang Mai 50200, Thailand
Website: https://www.graphcoffeeco.com/
Graph Cafe adalah tempat persinggahan kopi pertama saya dan Hasan selama di Chiang Mai sekaligus menjadi rekomendasi kafe di Chiang Mai pertama.
Di hari itu, saya dan Hasan memiliki rencana prioritas mengunjungi museum Lanna Folklife. Karena tidak ingin rugi dalam sekali perjalanan, saya juga mencari rekomendasi kafe Chiang Mai yang dapat dicapai hanya dengan berjalan kaki dari museum tersebut. Pilihan pun jatuh pada Graph Cafe.
Kami berangkat dari penginapan menggunakan songthaew sampai di depan museum. Selesai kunjungan museum, kami pun berjalan kaki menuju Graph Cafe.
Graph Cafe berlokasi di sebuah gang yang tenang dan damai di tengah hiruk pikuk arus turis yang berlalu lalang. Hampir kesulitan mencari, akhirnya saya menemukan kafe ini di pinggir gang dengan plang kecil yang menonjol. Wajar kafe ini agak sulit dicari. Kamar saya bahkan lebih luas dari Graph Cafe. Luas kafe Chiang Mai ini hanya 2,5 x 4 m saja mungkin?
Kami pun segera memasuki ruangan kecil itu. Tampak 2 pegawai kafe yang hadir. Satu bertindak sebagai barista, satu lagi di kasir atau melayani pelanggan. Di meja barista terdapat beberapa mesin khas kedai kopi seperti mesin Espresso. Terlihat juga jejeran brownies yang dibungkus plastik beserta setoples kaca berisi kukis. Di dalam kafe hanya ada beberapa meja kotak dan kursi bulat untuk pelanggan karena besar ruangan yang terbatas.
Di sisi seberang meja kopi, terdapat nakas kayu jati yang berisikan jejeran kamera analog, timbangan manual dan mesin penggiling kayu. Nuansa ruangan ini mengingatkan saya kepada laboratorium air Teknik Lingkungan ITB yang berada di gedung lama dan memiliki nuansa Belanda yang khas.
Untung saya dan Hasan mendapatkan tempat duduk meski tempat duduk amat terbatas. Di depan kami duduk seorang pria pirang paruh baya dengan seorang anak laki-laki yang berusia belasan tahun.
Setelah melihat-lihat menu, akhirnya saya memesan Sompetch yang merupakan minuman dingin dengan campuran jeruk segar, coklat, susu, dan espresso. Di bagian pusat rasa terasa espresso dengan note berry. Campuran jeruk segarnya memperkaya rasa asidik dari espresso tersebut. Kemudian, jalinan rasa tersebut dilembutkan oleh rasa creamy susu dan dipertegas oleh rasa coklat. Bold, sour, sweet, dan soft dalam satu regukan.
Saya memang membawa botol minum milik Hasan, tapi saya juga membelikan ia sepotong kue brownies yang kemudian dipertanyakan status kehalalannya oleh suami sesampainya kami di rumah.
“Is this the first time you here?”, ujar sang pria di depan saya membuka pembicaraan.
Kami pun akhirnya banyak berbincang. Ternyata pria di depan saya berasal dari Australia yang sedang berlibur panjang bersama anak laki-lakinya yang sedang duduk disampingnya. Mereka melakukan perjalanan menyusuri Sungai Mekong dengan mengunjungi kota-kota sekitarnya. Setelah perjalanan menyusuri Sungai Mekong tersebut, mereka akan kembali dahulu ke Melbourne, Australia selama beberapa bulan untuk kemudian tinggal sebulan di Bali.
“Hah, kok orang bule tajir-tajir ya, liburan bisa sampai sebulan begitu. Kita aja perasaan semingguan aja engap uangnya”, pikir saya dalam hati.
Belakangan saya baru tahu kalau biaya hidup yang sangat rendah di negara ASEAN termasuk Indonesia membuat warga negara Australia yang memiliki living cost lebih tinggi pasti merasa duitnya tidak habis-habis dengan hidup di negara-negara ASEAN.
“This is the second time we are coming to Graph Cafe, but not this branch.”, timpal seorang gadis berusia tiga puluhan yang duduk di belakang saya. Ia duduk berdua dengan seorang rekan perempuannya yang berusia sama. Mereka berasal dari Singapura dan pada hari itu juga mereka langsung menuju Bandara Internasional Chiang Mai untuk melanjutkan perjalanan ke negara berikutnya,
Ternyata ada 2 cabang Graph Cafe di Chiang Mai. Satu di Ravithi 1, tempat yang saya kunjungi ini, dan satu lagi di Nimmanhaemin yang ternyata dekat sekali dari tempat kami menginap. Saya kira cabang di Nimmanhaemin lebih luas, ternyata kurang lebih sama saja.
Di Graph Cafe, ini kali pertamanya saya merasakan suasana ngopi yang “intim” dimana para orang asing bertegur sapa bahkan tak jarang membagikan ceritanya. Berbeda sekali dengan kedai kopi terkenal punya nama bernuansa modern yang sarat nuansa kapitalis yang biasa saya rasakan di tengah kota Jakarta.
Graph Cafe yang berukuran kecil tidak menawarkan koneksi wifi dan tidak ramah “laptop” selayaknya kebanyakan imej kedai kopi. Kafe ini memiliki value yang hangat, bersahaja, dan akrab.
2. Ristr8to
Alamat: 15/3 Nimmanahaeminda Road, Tambon Su Thep, Mueang Chiang Mai District, Chiang Mai 50200, Thailand
Website: https://ristr8to.com/
Chiang Mai University yang menempati lahan seluas 14 kilometer persegi dan terletak tepat di depan gunung Suthep (Doi Suthep) membuat universitas ini memiliki pemandangan yang mengagumkan. Di jantung kampus terdapat Reservoir Ang Kaew \yang memiliki pemandangan menakjubkan.
Tepat dugaan saya, ternyata Chiang Mai University menawarkan tur dalam kampus dengan menggunakan mobil listrik. Pintu timur kampus hanya berjarak 1 kilometer lebih dari tempat penginapan. Saya pun memutuskan untuk melakukan tur kampus bersama Hasan. Tidak lupa saya mencari rekomendasi kafe di Chiang Mai yang berlokasi di sekitar kampus. Pilihan pun jatuh pada Ristr8to.
Apes, ternyata saya kurang riset. Portal untuk naik mobil listrik tur kampus ada di sebelah utara kampus sementara saya memasuki kampus dari sisi timur. Alhasil saya pun harus berjalan sejauh 2.5 kilometer sembari mendorong stroller demi menuju reservoir. Sisi baiknya, saya jadi lebih menikmati suasana kampus sambil sesekali mengambil foto.
Setelah sampai di reservoir dan menikmati suasana, saya pun memutuskan menggunakan jasa GrabCar meski jarak ke Ristr8to tidak jauh-jauh amat.
Kenapa saya pilih Ristr8to sebagai rekomendasi kafe di Chiang Mai persinggahan kami? Ternyata Ristr8to seterkenal itu pada jamannya karena sang barista yang juga sekaligus pemilik kafe memenangkan berbagai kontes barista. Tidak cuma di Chiang Mai saja, Ristr8to terkenal satu Thailand! Tidak heran kafe ini ramai sekali baik di tempat duduk luar ataupun dalam ruangan. Nimmanhamnida ini adalah lokasi turis dimana banyak berlokasi puluhan resto dan kafe. Kurang lebih seperti Kemang di Jakarta.
Di bagian eksterior, tampak plang jalan berwarna hitam yang menunjukkan arah berbagai asal biji kopi yang digunakan di kafe ini. Pemilik kafe juga dengan bangganya mencantumkan Australia Latte Art Champion dan World Champion Coffee Bean di plangnya. Ternyata tidak hanya kafe, tapi Ristr8to juga menjual biji kopinya serta mengadakan sekolah barista. Pantas saja kalau Ristr8tto menjadi rekomendasi kafe di Chiang Mai oleh banyak orang.
Eksterior yang menarik, membuat saya tertarik lebih melangkah untuk membuktikan klaimnya.
Interior Ristr8to memiliki nuansa industrial hitam dengan aksen kayu. Saya suka guratan kapur di dinding interior yang berwarna hitam berisi informasi dan infografik seputar proses kopi, jenis biji kopi, hingga daftar menu. Pelayan dan barista juga menggunakan kaos bebas berwarna hitam.
Menu kopi yang dijual oleh Ristr8to sangat lengkap. Mulai dari menu klasik seperti espresso dan cappucino, kreasi kopi yang diikutsertakan dalam kontes barista, hingga coffee liquor. Saya memesan segelas Dopper yang diklaim pernah menang di kejuaraan.
Menariknya, di halaman daftar menu kopi juga ada daftar 10 kedai kopi yang disarankan untuk Ristr8to agar disambangi juga. See? They empowered each other. This is the priceless coffee culture in Chiang Mai!
Tidak lama kemudian, pelayan datang membawakan segelas Dopper dengan gelas beling yang beralaskan tatakan kayu. Lucunya, tatakan kayu ini terdapat guratan identitas dari kopi tersebut. Tampak kolom dengan tulisan Acidity, Saltiness, Sweetness, Bitterness yang diberi ceklis oleh barista dengan pensil tingkat lemah atau kuatnya.
Konsep yang sungguh menarik. Sebelum menyeruput kopi, pelanggan mendapatkan gambaran visual kira-kira apa yang akan dirasakna oleh indra pengecap.
Dopper ini cukup unik, pada penjelasanyang tertulis di menu menunjukkan bahwa cara terbaik menikmatinya adalah dengan langsung menghirup selagi panas!
3. Omnia Cafe & Roastery
Alamat: 181/272 Photharam Rd, Mueang Chiang Mai District, Chiang Mai 50300, Thailand
Website: https://omniathai.com/
Sejujurnya saya juga tidak menyangka bahwa Omnia Cafe ini berada di daftar rekomendasi kafe di Chiang Mai. Kenapa?
Karena letaknya.
Bertepatan dengan libur panjang akhir pekan di Chiang Mai, suami pergi ke luar kota (baca: Phuket) untuk mengikuti sebuah seminar disana. Benar-benar libur panjang karena akhir pekan ditambah dengan 2 tanggal merah memperingati kematian Bhumibol Adulyadej atau dikenal dengan Rama IX. Rakyat Thailand tampaknya sangat mencintai sosok ini. Lihat saja, liburnya sampai dua hari.
Tinggallah saya dan Hasan hanya berdua selama 3 hari. Dibanding bengong di penginapan, saya memutuskan untuk menyusun jadwal berpelesir selagi ditinggal suami.
Salah satu tujuan saya adalah The Highland People Discovery Museum. Saya sengaja merencanakan kunjungan museum ini di akhir-akhir minggu tinggal di Chiang Mai. Soalnya museum ini terletak sedikit jauh ke luar kota. Museum ini menampilkan sejarah suku asli yang awalnya menempati Chiang Mai. Kenapa disebut Highland People? Karena suku-suku ini menempati di area pegunungan.
Seperti biasa, saya mencari rekomendasi kafe yang berlokasi di sekitar sana. Ketemu! Pilihan saya jatuh kepada Omnia Cafe yang dapat ditempuh sekitar 1,2 km dengan jalan kaki. Jadi, mulailah perjalanan saya menggunakan Grab sampai ke museum dan kemudian berjalan kaki ke Kafe Omnia.
Kami menempuh perjalanan dengan sinar matahari yang menyengat, dan hawa panas yang kering. Lokasinya benar-benar tampak sudah di luar kota. Saya bahkan bagaikan menyebrang jalan protokol pantura. Setelah berpeluh keringat, akhirnya tampak juga kafe mungil dengan plang bertulisan “Omnia Cafe & Roastery”.
Kafe mungil dengan nuansa rumahan ini tampak hangat. Saya disambut dengan satu orang perempuan yang tampaknya pelayan dan satu orang pria yang merupakan baristanya. Setelah memarkir stroller di luar, saya dan Hasan memilih tempat duduk. Lebih tepatnya bebas memilih tempat duduk karena kami satu-satunya (dua) pelanggan di saat itu!
Sembari santai, saya memilih menu kopi yang ditawarkan dari daftar menu yang menggunakan kertas coklat daur ulang tebal dan dijepit dengan papan jalan. Ya mirip papan kalau mau ujian namun lebih estetik.
Meski habis bermandi peluh, saya urung memesan kopi dingin. Akhirnya pilihan jatuh pada Cappuccino (saja).
Tidak lama kemudian, pelayan datang dengan membawa secangkir hitam Cappuccino dengan 2 gelas air minum dingin bertatakan nampan kayu. How thoughtful! Pelayan membawa dua gelas karena menghitung juga pelanggan kecil yang datang aka Hasan.
4. Akha Ama Coffee (La Fattoria)
Alamat: 175/1 Rachadamnoen, Tambon Si Phum Mueang Chiang Mai District, Chiang Mai 50200, Thailand
Website: http://www.akhaamacoffee.com/
Bisa dibilang, ini adalah kedai kopi terfavorit saya di daftar rekomendasi kafe di Chiang Mai yang saya buat ini.
Tidak terasa, sudah memasuki minggu terakhir saya dan sekeluarga di Chiang Mai. Saya sangat ingat itu adalah hari Jumat karena saya janji ketemuan dengan suami sehabis ia salat Jumat di masjid area Chang Khlan yang merupakan wilayah pemukiman yang banyak dihuni oleh Muslim.
Berdasarkan jarak dormitori dan Masjid Chang Khlan, kedai kopi yang berada di tengah-tengah adalah Akha Ama Coffee. Akha Ama Coffee sendiri seperti Ristr8tto dan Graph Coffee, memiliki beberapa cabang. Namun yang saya datangi adalah cabang yang berada di Kota Tua. Jarak dari dormitori ke Akha Ama La Fattoria kurang dari 2 km. Oleh karena itu, saya memutuskan berjalan kaki saja sambil mendorong Hasan di stroller. Saya selalu senang berjalan kaki karena dengan berjalan kaki, saya dapat menikmati dan mengamati berbagai hal serta melakukan street photography. Apalagi kurang dari seminggu lagi kami akan meninggalkan Chiang Mai kembali ke tanah air.
Selama perjalanan, saya baru menyadari bahwa di depan Rumah Sakit Maharaj Nakorn terdapat jajaran kedai makan kaki lima. Saya mencium bau babi yang diolah menjadi berbagai makanan dimana bau seperti ini tidak pernah saya hirup selama tinggal di Jakarta.
Rumah Sakit Maharaj Nakorn |
Penampakan saya yang tidak warga lokal banget membuat seorang turis asing menghentikan sepedanya.
“Do you know where Wat Suan Dok is?”
1 bulan kami di Chiang Mai, 1 bulan pula kami tidak pernah mengunjungi kuil. Tapi saya tahu kami tinggal di area Suan Dok. Pun, saya yang hobi “berjalan-jalan” via Google Map pun dengan mudah menemukan dimana Wat Suan Dok.
“Just keep straight and you can turn left in front of the University Dentistry building.”
Setengah jam berlalu, saya dan Hasan pun sampai di depan Akha Ama La Fattoria. Posisinya mudah ditemukan. Banyak turis yang sedang bercengkrama sembari menyesap kopi di teras. Kami pun masuk. Beruntung kami langsung mendapat tempat duduk sembari memesan Cafe Latte.
Bagi saya, Akha Ama bagaikan gerai kopi Indie idealis. Pendiri Akha Ama Coffee adalah Lee Ayu Chuepa yang merupakan anak “desa” suku Akha Suku Akha sendiri adalah suku asli Thailand utara. Ia termasuk orang pertama di kampungnya pada saat itu yang mengecap pendidikan perguruan tinggi.
Ia pernah bercerita di TEDx Talks bahwa petani kopi di kampungnya sama sekali tidak pernah menikmati kopi. Mereka hanya bertani untuk menjaga roda perekonomian kampungnya. Lee Ayu pun tergerak untuk membuat kedai kopi yang benar-benar memberdayakan petani lokal. Tersirat dari motto Akha Ama Coffee: Socially. Empowered. Enterprise.
Di sudut kiri tempat saya dan Hasan duduk terlihat rak yang sebagian besar berisikan bijih kopi yang berasal dari berbagai ladang kopi di Thailand. Ada juga beberapa bungkus bijih kopi impor. Selain itu, saya juga melihat buku resep makanan Thailand vegetarian yang dikarang oleh orang Thailand juga.
Akha Ama Coffee La Fattoria sungguh terasa hangat. Pelayannya ramah juga diimbangi dengan rasa kopi berkualitas yang disajikan.
Saya perhatikan, sebagian besar kedai kopi lokal di Chiang Mai didesain bukan untuk bekerja, tetapi lebih untuk bersosialisasi. Terlihat dari ukuran yang tidak terlalu besar, meja yang kecil, dan jarak antar tempat duduk yang dekat.
Saya merasa sangat beruntung diberi kesempatan untuk ke Chiang Mai selama sebulan, termasuk melakukan perjalanan dari kedai kopi ke kedai kopi lainnya di kota yang kental akan budayanya serta terkenal akan kedai kopinya. Makanya, saya merasa butuh menulis daftar rekomendasi kafe di Chiang Mai ini.
Kedai kopi yang saling mendukung satu sama lain, ruangan kedai kopi yang ramah dan cuaca yang menyenangkan. Pantas saja kultur kopi di Chiang Mai menjadi incaran banyak turis.
Jadi sekarang kamu sudah mulai tahu kan pesona Chiang Mai? Ayo kunjungi Chiang Mai dan pastikan mengunjungi salah satu rekomendasi kafe di Chiang Mai di atas!
ahay, dari semua tempat yg disebutkan, aku belum pernah mengunjungi 1 pun! Tapi aku sering beli biji kopi Akha Ama untuk dibikin sendiri di rumah, belinya dari cabang yang lain sih, hehehe. Untuk Rist8to aku males coba karena selalu ramai, dan kopinya skrg bisa dibeli di beberapa cabang kecilnya atau bahkan beli biji kopinya saja.
BalasHapusYuk ke Chiang Mai lagi, nanti kapan-kapan aku lanjutkan review warung kopi kekinian dan instagramable juga ya, hehehe...
Wah saya belum pernah ke Thailand sih mba tapi pas baca artikel mba seakan akan sedang jalan jalan virtual deh. Memang bisnis kopi menjadi trend ga hanya di dalam negeri ya mba.
BalasHapusWah seru ya mbak, kedai kopi peduli sama para petani. Kedainya juga sebetulnya mirip-mirip sama kedai kopi di Indonesia bukan sih? Model kafe gitu, bukan yang angkringan.
BalasHapusWah ..., sebelas dua belas ya, orang Chiang May dengan orang Indonesia. Petani cuman menanam kopi, yang menikmati kopinya orang lain. Yang kaya inmpirtirnya. Petaninya tetap miskin. Selamat pagi, Mbak.
BalasHapusSenang ya bisa memanfaatkan waktu yang sebentar dengan menjelajah menemukan cafe2 favorit. Saya bukan penggemar kopi sebenarnya, tapi suka kagum aja sama penampilan kopi yang bagus2 dalam penyajiannya, dan para penikmat kopi bisa sangat detil membedakan rasanya dan memilih yang paling favorit menurut mereka.
BalasHapusAaakkk, mupeng bangettt explore dan enjoy kafe2 seperti ini.
BalasHapusPengin deh kapan2 ke Chiang Mai jugaaa
karena Bangkok IMHO rameee dan polusinya ulala bgt yak.
Seruuu baca tulisan ini. Saya serasa sedang jalan-jalan di Chiang Mai. Jalan-jalan sambil ngafe ternyata asyik banget.
BalasHapusEnak banget dong ngopi2 di Chiang Mai dengan segala pilihan cafe dan kopinya yang beragam. Unsur lokalitasnya yang tak lepas juga jadi poin tersendiri di tengah serbuan modernitas di dunia kafe kopi.
BalasHapusLama banget mbak sebulan. Banyak sekali ya kedai kopi di kota chiang mai. Ini sebelum pandemi menyerang dong ya mbak zen?
BalasHapuswah banyak ya kedai kopi di Chiang Mai
BalasHapusdi Indonesia sekarang juga makin banyak kedai kopi
harapannya juga semakin mensejahterahkan petani kopi
Wah mantap banget rekomendasinya, mbak. Jadi tahu nih kalau di chiang May orang-orangnya suka kopi juga. Tentang bisnis kopi di Indonesia sendiri saya tahunya kopi kita itu dijual ke luar negeri trus sampai lagi ke Indonesia dalam bentuk produk kopi mahal gitu ya. Miris banget deh jadinya
BalasHapusAku belum pernah ke Chiang Mai. Tenyata industri kopi di sana nggak kalah juga ya sama disini. Kedai kopi memang berasa mampu menyatukan berbagai kalangan di tengah kepadatan kota
BalasHapusAku liat Chiang Mai dari acara NCT Daily.
BalasHapusHehehe...dan dari segi cuaca, sepertinya mirip-mirip Jakarta yaa..
Tapi apakah sama hecticnya?
Ngadem sambil ngobrol di cafe itu paling nyaman sik yaa.. Bisa menikmati sambil bekerja juga.
Ah betapa menyenangkannya perjalanan petualangan dari satu kedai kopi ke kedai kopi lain. Nom nom nom. Apalagi di luar negeri. Ada sensasi beda ya, Mbak. Rasa kopi di sana dibanding Indonesia seperti apa, Mbak. Aku kepooo. Hahaha.
BalasHapusRekomendasi yang super keren, Mbak. Berasa ngikut menikmati suasana dan juga kopinya, kita. Semoga suatu saat nanti, bisa juga berkunjung ke Thailand. Aamiin
BalasHapusSeruu.. jadi kepingin punya pengalaman seperti ini, ngopi di negeri seberang :)
BalasHapusSaya kagum dengan keempat kedai kopi yang dikunjungi, saya lihat semuanya punya website. Di kita belum tentu lho, kalaupun ada, biasanya enggak begitu terurus.
Oh iya, karena saya tinggal di jogja, ada tempat penghasil kopi petani asli yaitu di lereng merapi, termasuk hingga temanggung-magelang. Di sana juga mulai banyak kedai kopi. Semoga saya bisa berkisah seperti ini nanti di blog, tapi di dalam negeri dulu, hehehe.
Kesan klasik dan serius terlihat di foto2 kopisyop di atas. Gila aja masih ada yang bikin konsep seperti ini di saat anak muda lebih milih boba atau kopi-kopian rasa susu. Hahaha jadi inget pernah kerja di kopisyop bantu2 in temen. Btw makasih rekomendasi tempatnya Kak, masuk list kalau ke sana nih.
BalasHapusSenang pastinya bisa jalan-jalan bisa bertemu dengan orang-orang dari negara lain. Sepertinya beberapa negara di luar ada dana untuk perjalanan. Keluar, entah itu subsidi atau pinjaman khusus travelling ya. Btw, tadi nyangkanya chiang mai itu di China, ternyata di Thailand. Makasih,Kak ini perjalanan yang seru, moga bisa ke sana juga .
BalasHapusSemoga saya suatu ketika bisa ke tempat-tempat ini lalu mencicipi kopi-kopinya. Oya, di sana apakah di kafenya diputar musik lokal atau musik ala setarbak yang cenderung jazzy?
BalasHapusTravelling yang tak terlupakan dan menyenangkan, menjelajah gerai kopi di Chiang Mai sambil mencicipi kopi lokal khas sana berdua bareng anak sambil nunggu suami. Duh kangen masa2 itu
BalasHapusPenasaran juga bagaimana nikmatnya ngopi di negeri orang. Apalagi sebagian besar desain tempatnya diperuntukkan untuk sosialisasi dengan orang lain, ketimbang menjadi tempat bekerja atau numpang wifi seperti di negeri kita ini.
BalasHapusSatu hal yang kalau lagi traveling keluar negeri, sama kak saya tidak ingin melewatkan minum kopi ala lokal. Kebetulan memang pencinta kopi hitam 🤭. So, makasih kak infonya, bisa aku masukin list kalau suatu waktu kembali lagi jalan jalan ke Thailand
BalasHapusAku bukan pengopi sejati, tapi aku suka suasana dan penyajian kopi dalam artikel. Sejuta cerita dari secangkir kopi
BalasHapusDona
Baru baca kalimat pembuka artikel ini aja, saya udah tertegun. Bener juga, dulu petani kopi dijajah oleh penjajah dari luar negeri, namun sekarang dijajah oleh tengkulak.
BalasHapusSedih, padahal kopi adalah minuman kekinian yang cukup mahal, masa petani kopi enggak merasakan hasil jerih payah mereka.
Saya suka dengan mindsetnya kak "Apakah kedai kopi budak kapitalis, atau kedai kopi yang merupakan “teman” yang sama-sama berjuang untuk kesejahteraan petani". Sebagai orang yang barus suka(baru bisa) minum kopi, kayaknya saya juga pengen menerapkan mindset seperti ini.
Belum pernah ke Thailand sih, semoga nanti bisa ke sana dan coba mengunjungi kafe sesuai rekomendasi yang ada di sini
Kira-kira gak berbeda jauh bentuk tempa kopi Thailand dengan di Indo ya kak, tapi sensasi minum kopi di Thailand pasti berbeda nih... Jadi penasaran nih sama kopi di Thailand sana, bakal di list dulu nih kalau ke sana sudah ada rekomendasi tempat kopi yg akan dikunjungi..
BalasHapuskedai kopi zaman sekarang yang dijual memang bukan hanya kopinya aja ya, tapi juga tempatnya yang nyaman dan bisa dipakai nongkrong
BalasHapusterima kasih list kerennya, kali2 aja bisa ke thailand, nanti bisa mampir deh
Wahh banyak banget ada kedai kopi di Chiang Mai, apalagi kalau bisa support petani lokal bakalan makin mantep.
BalasHapusPas dulu liburan ke Thailand saya belum sempat nyobain 1 pun kedai kopi di Thailand, paling cuma beli thai tea dan street food-nya.
Iya, ya mbak. Bule kalo melancong seLaLu lama, minimal satu bulan.
BalasHapusMungkin schedule kerja di sana berbeda kali ya dengan di Indonesia. Sekalinya liburan bIsa panjang mereka.
Chiang Mai, itu kota kedua favoritku di Thailand 😁. Nomor 1 nya tetep Chiang Rai ❤️. Mungkin Krn lebih dingin dan lebih santai kotanya. Ga terlalu modern juga.
BalasHapusSayangnya, pas dulu aku ke sana, iu bareng teman, suami ga ikut. Pas tahu kota2 nya cantiiik dan lebih menarik drpd Bangkok, LGS nyesel, Krn suami juga suka kota yg sejuk dan santai begini
Pas dulu kesana sayangnya aku blm terlalu suka kopi mba. Jadi LBH sering nyari cafe biasa yg bukan spesialis kopi, dan jelajah banyak wat sampe blenger 🤣🤣. Setelah baca ini, beneran JD pengen bgt k Chiang Mai lagi. Tapi kali ini nyobain aneka kopinya. Suka banget pas liat yg kafe ristr8to. Konsepnya aku suka, dan plating kopinya menarik dengan tray yg bertuliskan info sweet, saltyness dan bitterness nya segala.
Wah ga pernah kepikiran buat hunting kafe ngopi di luar negri. Bakal masuk list nih kalo ke Chiang Mai. Anyway ga nyangka ya kafe besar di sana rekomendasiin kafe-kafe lain. Tujuan ngopi juga jadi balik lagi seperti budaya jaman dulu, ngopi untuk bersosialisasi. Great writing net, bakal jd catatan gue nih klo bingung nyari Tujuan ke Thailand
BalasHapus