Apa yang terbayang di benakmu jika mendengar penyakit kusta? Penyandang kusta? Saatnya mengakui kesetaraan OYPMK!
“Uhh, penyakit kampung, ga mau dekat-dekat ah. Takut menular.” Begitu kata sebagian besar masyarakat
Faktanya, meski kita merasakan semangat kemerdekaan membuncah di benak pada bulan Agustus, Orang yang Pernah Mengalami Kusta (OYMPK) masih merasa terkekang dan terdiskriminasi. Sebagian besar dari kita banyak menganggap remeh OYPMK. Pun, topik tentang kusta ini terkesan tidak menarik untuk dibahas. Selain mendapat perlakuan kurang enak di tengah masyarakat, OYPMK juga kerap sulit mendapat perkerjaan di perusahaan. Mereka mendapatkan stigma tidak enak, padahal OYPMK yang sudah mengalami pengobatan teratur dan sudah sembuh tidak ada bedanya dengan orang biasa, mereka bisa berfungsi maksimal layaknya orang normal.
OYPMK memang dikategorikan sebagai difabel karena karakteristik dari penyakit kusta itu sendiri yang membuat bagian tubuh diamputasi jika tidak ditangani lebih awal dan tuntas. Namun, jika OYPMK berobat dini dan menyelesaikan medikasi hingga tuntas tanpa ada bagian tubuh yang harus diamputasi, mereka termasuk OYPMK yang bukan difabel.
Untuk menjawab ketimpangan stigma ini, KBR mengadakan talkshow yang bertajuk “Makna Kemerdekaan bagi OYPMK, Seperti Apa?” dengan dua narasumber yang hebat dan dimoderatori oleh Rizal Wijaya. Diharapkan talkshow ini menjadi sarana edukasi kusta bagi masyarakat luas.
Narasumber pertama adalah Dr. Mimi Mariani Lusli yang merupakan direktur Mimi Instutute. Keadaannya yang tunanetra tidak menghalangi Dr. Mimi untuk meraih mimpinya. Beliau menyandang dua gelar master dari Universitas Indonesia dan University of Leeds. Berawal dari keprihatinannya terhadap anak-anak tunanetra yang memiliki keterbatasan kesempatan, ia mendirikan Mimi Institute pada tahun 2009. Lembaga ini merupakan badan konseling bagi difabel yang juga mensosialisasikan isu kecacatan kepada masyarakat umum agar anak-anak berkebutuhan khusus tidak mendapat perlakuan diskriminasi.
Sumber: Mimi Institute |
Narasumber berikutnya tidak kalah hebat adalah Marsinah Dhedhe, OYMPK yang juga merupakan aktivis wanita dan difabel. Ia sudah mengalami disabilitas sebelum terkena bakteri kusta, Mycobacterium leprae.
Perempuan yang akrab disapa Dhedhe ini membagikan kisahnya yang membuat pendengar trenyuh. Saat ia terinfeksi bakteri kusta, Dhedhe rutin berobat dengan mendapatkan suntikan tiap hari Jumat. Namum semesta sempat kurang berpihak padanya. Ia mendapat perlakuan diskriminasi dari sekolah akibat sang guru memintanya untuk pulang. Mungkin, Dhedhe adalah salah satu OYPMK yang beruntung karena memiliki support system yang mendukung. Akibat perlakuan kurang menyenangkan ini, sang ayah datang ke sekolah untuk mengecam perlakuan sekolah, bahkan sampai membawa senjata!
Tidak ingin OYPMK merasakah hal yang sama seperti yang ia rasakan, Dhedhe semangat untuk mengkampanyekan kesetaraan OYPMK kepada masyarakat untuk mengubah stigma negatif ini.
OYPMK di mata hukum
Ternyata, kesetaraan OYPMK juga dipayungi oleh hukum agar mereka tidak mendapat perlakuan diskriminasi di tempat kerja. Perusahaan setidaknya harus menerima pegawai dengan disabilitias minimal sebesar 2%. Hal ini sesuai dengan yang tertuang di Undang-undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang berbunyi:
Pasal 53 ayat 1:Pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, dan BUMD wajib memperkerjakan penyandang disabilitas paling sedikit 2 persen dari jumlah pegawai atau pekerja.
Pasal 53 ayat 2:Perusahaan swasta wajib memperkerjakan paling sedikit 1 persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.
Dengan demikian, jika OYPMK dan penyandang disabilitas lainnya dapat mengadukan ke lembaga hukum jika mendapat perlakuan diskriminasi dari perusahaan tempat mereka bekerja.
Kamu OYPMK? Jangan khawatir!
1. Keluarga menjadi support system utama
Dhedhe menjelaskan bahwa rasa percaya diri adalah hal yang paling penting dimiliki untuk mendapatkan kesetaraan OYPMK. Keluarga sebagai support system utama juga harus saling menguatkan. Dari keluarga pula OYPMK semakin berani untuk menghadapi dunia yang diskriminatif.
2. Bersosialisi dengan masyarakat
Stigma negatif terhadap OYPMK memang masih tidak dapat dihindari. Mau tidak mau, OYPMK lah yang harus mendekati masyarakat. Speak up, memberikan pengertian serta edukasi kepada masyarakat dengan gencar. Buktikan kalau kesetaraan OYPMK itu harus dinormalisasi di masyarakat umum.
Komunitas kusta masih berjumlah sedikit, namun jika saling bahu-membahu dan aktif menyuarakan tentang kusta, diharapkan bentuk diskriminasi masyarakat luas terhadap OYPMK dan difabel berkurang sehingga lebih melibatkan mereka di berbagai sendi kehidupan.
3. Afirmasi positif di tempat kerja
Meski ada testimoni OYPMK yang memiliki cerita positif di tempat kerjanya, ternyata masih ada OYPMK yang tidak seberuntung itu. Pak Irwan dari Makassar menuturkan kisah OYPMK di lingkungannya yang banyak mendapatkan tekanan mental bahkan berujung depresi akibat mereka tidak dapat berkerja kembali menghidupi keluarganya.
Seharusnya bulan kemerdekaan ini menjadi momen mendapatkan kesetaraan OYPMK agar semakin giat berkarya tanpa ada hambatan akibat stigma negatif kusta yang melekat. Pun, kita sebagai masyarakat yang sadar harus membantu menghilangkan stigma negatif kepada OYPMK tersebut.
4. Mengutamakan pendidikan
Banyak OYPMK yang menarik diri dari sendi kehidupan seperti berhenti menempuh pendidikan saat didiagnosa terinfeksi bakteri kusta. Padahal, kemungkinan kusta menular SANGAT SULIT. Pun, saat sudah sembuh total pun para OYPMK banyak yang menerima perlakuan tidak adil.
Stigma negatif OYPMK berhenti di kamu
Sudah saatnya OYPMK hidup dengan normal layaknya manusia biasanya. Tidak ada yang salah dengan OYPMK, yang berbeda hanya mereka pernah terinfeksi oleh bakteri kusta. Tidak ada alasan untuk menjauhi mereka. Sulit sekali tertular kusta dari mereka, apalagi jika sudah sembuh total.
Mari maknai momen kemerdekaan ini sebagai kemerdekaan dan kesetaraan OYPMK untuk terus berkarya, bersosialisasi, dan menempuh pendidikan dengan layak.
Stigma masyarakat tentang penyakit kusta ini memang yang masih harus "dibetulkan" biar bisa dukung para penyandang kusta untuk semangat sembuh
BalasHapusKusta bukan penyakit kutukan. Mendengar kusta mungkin orang akan mundur sejauh jauhnya untuk menghindar dari si sakit itu ya, Mbak. Takut ketularan kali ya. Dengan tulisan ini bisa menjadi edukasi terutama bagi saya pribadi juga, Mbak
BalasHapusSetuju mba stigma di masyarakat harus segera dikontrol agar para penyandang Kusta bisa menyembuhkan diri dengan tenang
HapusKeluarga dan lingkungan sekitar memang harus menjadi support system utama.
BalasHapusKita pun bisa mendukung mereka. Setidaknya dengan tidak mengucilkan dan menjauhi mereka.
Senang ada artikel seperti ini, meluruskan stigma-stigma yang keliru.
sudah saatnya kita bisa menerima oypmk ini ya, mbak dan semoga saja ke depannya oypmk ini bisa lebih percaya diri dan diterima di masyarakat
BalasHapusTernyata mengenai penerimaan karyawan yang difabel ada ya di dalam undang2 kita. Jadi sebenarnya tidak ada alasan para pemilik perusahaan untuk menolak difabel, termasuk OPYMK.
BalasHapusSalut atas semangat dan perjuangan Bu Marsinah Dhedhe, selaku OYMPK yang juga merupakan aktivis wanita dan difabel ia terus memberikan inspirasinya
BalasHapusSebenarnya sekarang keberadaan oympk ini sudah dijamin dalam undang undang ya mbak
BalasHapusHanya saja masih banyak stigma di masyarakat
Saya baru teredukasi dengan OYMPK ini. Ya kadang kita sering memandang sebelah mata pada mereka padahal mereka sama seperti kita. Bahkan tidak ingin memiliki penyakit tersebut. Semoga kita bisa jadi bagian untuk mengedukasi hal ini
BalasHapusBari tahu penderita kusta itu bagian dari golongan disabillitas. Sepertinya masih sedikit sekali perusahaan yang mau menerima teman disabilitas. Harusnya ada pengawasan dari Dinas Tenaga Kerja dan bantuan untuk teman kena kusta.
BalasHapusMalah saya dengar, bantuan dari mantan penderita kusta yang bantu mencarikan pekerjaan
Bu Mimi mmg aktivis disabilitas yg byk memperjuangkan hak2 disabilitas, inspiratif mmg ibunya. OYMPK ini mmg masih byk yg di diskriminasi
BalasHapusOYPMK juga berhak mendapatkan pekerjaan atau kesempatan hidup yang lebih baik jika dia mampu. Stigma tentang penderita Kusta dan OYPMK di masyarakat masih harus diperbaiki sih. Perlu edukasi lebih Luas terhadap masyarakat
BalasHapusSetuju, kemerdekaan dan kesetaraan OYPMK untuk terus berkarya, bersosialisasi, dan menempuh pendidikan dengan layak perlu didukung dan dijalankan. Stigma negatifnya berhenti di kita bukan disebarkan!
BalasHapusma syaa Allah, artikel ini membuatku dapat banyak informasi mbak, terutama perihal kusta ini, karena memang masyarakat kita kurang edukasi mengenai ini
BalasHapussepakat, OYPMK pun mempunyai hak untuk berkarya, beraktivitas layaknya orang lain, edukasi seperti ini harus terus digalakkan agar tidak ada lagi diskriminasi
BalasHapusSudah saatnya kita ubah mindset kita ketika melihat OYPMK dan penyandang disabilitas yang ada di sekitar kita bahwa mereka memiliki hak yang sama dan mereka bisa menjadi sesuai apa yang mereka cita-citakan sesuai dengan skills yang dimiliki.
BalasHapusSalut bagi siapapun pejuang dan fasiliator untuk OYPMK, semoga semuanya diberikan kesehatan dan makin banyak orang yang teredukasi mengenai penyakit ini
BalasHapusSalut dengan kisah Bu Dhedhe. Semoga menjadi motivasi dan inspirasi bagi kawan OYPMK sekaligus buat non agar tidak menyemat stigma kepada penderita dan eks-penderitanya.
BalasHapus