Tahun 2018, kami sekeluarga tinggal berpindah-pindah di berbagai seantero pulau Jawa karena mengikuti stase luar kota suami yang saat itu masih berstatus residen Ortopedi. Sepanjang tahun 2018 kami menyambangi 4 kota: Purwokerto, Jombang, Jogja, dan Chiang Mai
selama sebulan di tiap kotanya.
Tiap kembali ke Kota Jakarta, Hasan anak sulung kami pasti batuk-pilek atau bahkan sampai demam. Hal ini juga pernah terjadi saat kami kembali ke Jakarta setelah berada di Banda Aceh selama seminggu. Hasan langsung batuk-pilek, padahal kami selama di luar kota benar-benar sibuk berpergian tiap harinya. Anehnya, anak sulung saya tetap dalam keadaan sehat selama berada di sana.
“Mungkin kah ini akibat kualitas udara di kota-kota tersebut jauh lebih bagus dibandingkan di Jakarta?” Batin saya.
Tidak hanya pada Hasan, ponakan saya juga kerap mengalami hal yang sama. Sepupunya Hasan langganan batuk pilek selama tinggal di Jakarta. Anehnya, saat mereka pindah ke Bojonegoro selama 1,5 tahun, kedua sepupu Hasan ini hampir tidak pernah batuk pilek!
Lantas benarkah hipotesis prematur saya ini?
Setelah banyak membaca, gangguan kesehatan Hasan ini ternyata ada pengaruh dari buruknya kualitas udara Jabodetabek yang secara tidak langsung turut andil dalam perubahan iklim.
Lho, bagaimana hubungannya?
Hubungan buruknya kualitas udara dengan perubahan iklim
Perubahan iklim sedang terjadi di depan mata kita! Salah satu parameter yang paling mudah diketahui adalah kenaikan suhu global. Sebenarnya, perubahan iklim itu adalah hal yang lumrah terjadi dimana suhu, curah hujan, dan elemen lainnya berubah naik turun dalam waktu 1 dekade atau lebih. Jutaan tahun yang lalu bisa jadi lebih dingin atau lebih hangat dibandingkan suhu sekarang dan itu wajar.
Sayangnya, siklus alami perubahan temperatur global ini tidak berjalan pada koridornya. Lebih tepatnya, kenaikan suhu semakin cepat akibat diperparah oleh aktivitas manusia berupa pembakaran bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK).
Mengenal gas rumah kaca biang perubahan iklim
Normalnya, panas matahari yang diserap bumi dipantulkan kembali ke atmosfer. Alih-alih dipantulkan kembali, yang terjadi sekarang adalah panas matahari terperangkap di dalam bumi karena tidak bisa dipantulkan kembali keluar dari atmosfer. Akibatnya suhu di bumi pun menjadi meningkat.
Gas rumah kaca ini terdiri dari karbon dioksida (CO2), nitrogen dioksida (N2O), metana (CH4) dan freon. Disebut gas rumah kaca karena keberadaan gas-gas ini mengakibatkan bumi seperti berada di dalam rumah kaca. Sederhananya, keberadaan gas-gas ini seperti membentuk mantel yang menyelimuti bumi sehingga panas matahari yang diterima oleh bumi sulit untuk dilepaskan ke atmosfer. Hal serupa juga terjadi pada Planet Venus yang menyebabkan suhunya lebih tinggi dari Planet Merkurius meski berada lebih jauh dari Matahari.
Banyak orang yang berpikiran bahwa perubahan iklim hanya seputar temperatur yang meningkat. Nyatanya, temperatur yang meningkat adalah kisah awal yang akan memancing terjadinya hal-hal berbahaya lain layaknya reaksi rantai. Jika suhu bumi meningkat, maka kekeringan ekstrim, kelangkaan air, kebakaran, kenaikan permukaan laut, dan berbagai malapetaka bumi lainnya hanya tinggal menunggu waktu.
Konsentrasi gas rumah kaca sudah mencapai titik tertinggi dalam 2 juta tahun terakhir dan akan terus meningkat berdasarkan data yang dihimpun oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Akibatnya, dunia akan 1,1 °C lebih hangat dibandingkan saat tahun 1800. 1,1 °C mungkin terasa tidak signfikan, tapi cukup mampu menenggelamkan Kota Jakarta jika kita tidak bergerak mencegah terjadinya perubahan iklim. Jika kita semua tidak bertindak untuk menyelamatkan bumi ini, maka diperkirakan kenaikan suhu akan mencapai 4,4 °C di akhir abad ini.
Kenaikan temperatur global yang tidak main-main ini menghasilkan keputusan yang dikenal dengan Paris Agreement. Paris Agreement bervisi agar kenaikan temperatur global HARUS dibawah 2 °C dibandingkan dengan jaman pra-industri. Salah satu tujuan utama yang hendak dicapai agar perubahan iklim tercapai adalah mengurangi emisi GRK. Indonesia sendiri sudah berkomitmen untuk memenuhi mimpi ini bersama-sama.
Salah satu gas rumah kaca adalah CO2. Berdasarkan data Badan Pengawas Lingkungan Hidup (BPLHD) Jakarta, 60-70% dari CO2 pada kota-kota besar yang dihasilkan berasal dari gas pembakaran kendaraan bermotor. Hasil gas pembakaran ini menyumbang emisi CO2 sebanyak 71 ton dengan konsumsi energi sebanyak 179 juta sbm (Setara Barel Minyak). Ini merupakan jumlah yang masif dan sudah pasti Kota Jakarta ikut ambil andil dalam terjadinya perubahan iklim. Pada akhirnya, kesehatan warga Jakarta pula lah yang dipertaruhkan.
Kualitas udara yang buruk akibat kendaraan bermotor di Kota Jakarta
Saya pernah mengambil topik penelitian kualitas udara Jakarta untuk tesis S2 saya. Di penelitian tersebut, saya menggunakan data sekunder yang diambil dari BPLHD Jakarta. Ada 2 data stasiun pemantauan yang saya gunakan, yaitu stasiun Bundaran HI dan Ragunan.
Sebelum mendapatkan data tersebut, saya sudah memprediksi bahwa konsentrasi CO2 di sekitar Bundaran HI akan sangat tinggi mengingat itu adalah gas utama buangan kendaraan bermotor. Benar saja, konsentrasi CO2 berada di puncaknya pada jam berangkat dan pulang kerja. Konsentrasi CO2 juga sangat tinggi di jam makan siang.
“Itu namanya Power lunch, dimana lalu lintas cukup tinggi karena orang-orang keluar menggunakan kendaraan bermotor untuk mencari makanan siang”, ujar dosen pembimbing saya pada saat itu.
Sementara untuk data stasiun Ragunan, konsentrasi gas ozon (O3) cukup tinggi. Senyawa ozon merupakan gas sekunder yang dihasilkan dari proses reaksi kimia, jadi bukan seperti CO2 yang langsung keluar dari mulut knalpot mobil dan motor. Ini disebabkan oleh banyaknya vegetasi di daerah Jakarta Selatan yang memancing proses kimia yang menghasilkan zat ozon di lapisan troposfer.
Penduduk kota Jakarta bisa meningkat menjadi 6-7 kali lipat dari jumlah penduduk aslinya. Mayoritas warga yang berasal dari Megapolitan Jakarta memilih menggunakan mobil atau motor pribadi saat ke kantor. Tak heran, kemacetan memuncak saat menuju jam masuk kantor dan setelah jam pulang kantor.
Selain menghasilkan emisi utama berupa CO2, kendaraan bermotor juga mengeluarkan PM2.5 yang jelas dapat mengganggu kesehatan. PM2.5 (Particulate Matter) adalah partikel polusi dengan diameter lebih kecil dari 2.5 mikrometer. Kehadiran PM2.5 ini yang didukung dengan kenaikan konsentrasi gas rumah kaca CO2 akan saling bersinergi membuat tingginya konsentrasi PM2.5 yang nantinya akan berdampak letal bagi kesehatan manusia.
Kualitas udara buruk, perubahan iklim, dan efeknya pada kesehatan
PM2.5 dapat masuk ke saluran pernapasan manusia hingga mencapai paru-paru. Paparan partikel berukuran halus ini dapat mengakibatkan efek kesehatan jangka pendek berupa iritasi mata, hidung, dan tenggorokan, batuk, bersin, hidung meler, hingga sesak napas seperti yang dilansir dari Departemen Kesehatan New York di situs resminya.
Tercantum juga di dokumen WHO, polutan PM2.5 menyebabkan dampak kesehatan jangka pendek dan jangka panjang berupa kematian yang disebabkan oleh serangan jantung dan pernapasan.
Tidak hanya menghasilkan CO2 dan PM2.5, asap buangan bermotor juga dapat mengeluarkan emisi NOx yang juga dapat mengakibatkan masalah di sistem pernapasan.
Berarti cukup valid lah ya hipotesis prematur saya yang menduga bahwa udara Kota Jakarta sebagai biang batuk-pilek anak saya sepulang dari luar kota dan flu langganan yang dialami ponakan saya.
Gas buangan kendaraan bermotor memproduksi CO2 secara masif yang berkontribusi aktif meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca. Gas rumah kaca ini memicu kenaikan suhu secara global. Naiknya suhu dapat membuat konsentrasi PM2.5 yang juga diproduksi oleh kendaraan bermotor semakin terperangkap sehingga konsentrasi PM2.5 juga lebih besar.
Sebuah penelitian yang dilakukan di Cina pada tahun 2019 menggabungkan parameter perubahan iklim, kualitas udara yang buruk, serta efeknya terhadap kesehatan. Hasilnya cukup mencengangkan. Lebih dari 85% penduduk Cina akan merasakan dampak kesehatan akibat konsentrasi PM2.5 yang tinggi di tengah abad ini.
Efek gas rumah kaca akan menyebabkan stagnansi pada lapisan atmosfer serta serangan gelombang panas yang nantinya akan memicu gangguan kesehatan yang disebabkan oleh polutan PM2.5 menjadi lebih fatal.
Naiknya suhu global akan berdampak pada meningkatnya proses evaporasi dan uap air atmosfer sehingga curah hujan pun akan meningkat. Hujan gila-gilaan ini adalah salah satu indikator perubahan iklim yang jarang disadari oleh manusia seperti yang dilansir dari United States Environmental Protection Agency (US EPA). Pola curah hujan yang tidak biasanya ini dapat mengakibatkan kecepatan angin berkurang sehingga konsentrasi PM2.5 lebih mudah terperangkap dan tinggi pula konsentrasinya.
Perubahan iklim merupakan ancaman kesehatan terbesar yang menghadang umat manusia, salah satunya adalah ancaman kesehatan seperti yang tertera di situs resmi PBB. Lebih dari 90 persen manusia menghirup udara yang tidak sehat yang sudah dikontaminasi oleh hasil dari pembakaran bahan bakar fosil.
Apa yang dapat kita lakukan untuk memperbaiki kualitas udara Kota Jakarta?
Sektor transportasi berkontribusi menyumbang 20 persen dari emisi karbon lokal seperti tertera di situs resmi PBB. Bahkan, emisi CO2 di Jakarta sebanyak 60-70% dihasilkan oleh sektor transportasi menurut BPLHD Jakarta..
Dengan jumlah karbon dioksida yang cukup masif ini, banyak hal yang dapat kita lakukan sebagai bentuk mengurangi emisi karbon yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor.
Warga Kota Jakarta bisa kok lebih bijak dalam mengurangi emisi buangan kendaraan bermotor dan berkontribusi dalam pencegahan terjadinya perubahan iklim. Simak caranya!
1. Memprioritaskan penggunaan transportasi publik
|
Sumber: jakartamrt.co.id |
Perlu saya akui, jaringan transportasi publik di Megapolitan Jakarta (Jakarta dan kota satelitnya) semakin lengkap. Pilihan transportasi publik tersebut juga cukup banyak, mulai dari Kereta Listrik (KRL), MRT, LRT, bus pengumpan, hingga angkot. Jaringan transportasi publik ini akan terus diperluas dan dibenahi ke depannya.
“Modern people do commute”, ujar suami saya tempo hari.
Jika diperhatikan, malah justru kota-kota besar di dunia sudah memiliki jaringan transportasi publik yang baik sehingga mayoritas penduduknya sudah melakukan commuting menggunakan transportasi publik.
Menggunakan transportasi publik lebih murah ketimbang menggunakan kendaraan pribadi. Bahkan, tak jarang juga lebih cepat dibanding harus menempuh kemacetan di jalan raya. Jika harus membawa mobil saat pergi ke tempat kerja, suami saya kerap memilih untuk memarkirkan mobil di dekat stasiun MRT, kemudian melanjutkan perjalanan dengan MRT.
“Lebih cepat dan stress-free ketimbang bawa mobil terus ke ke kantor. Udah gitu jarak tempuhnya juga lebih cepat’, celetuk suami saya.
Menggunakan transportasi publik juga memicu masyarakat untuk lebih banyak untuk berjalan kaki sehingga akan lebih sehat pula.
Dengan semakin lengkapnya jalur transportasi publik didukung dengan pilihan ojek daring dan taksi daring, maka alasan apa lagi yang harus diutarakan untuk tidak menggunakan transportasi publik?
2. Menggunakan sepeda sebagai moda transportasi ke kantor
|
Sobat setia Suami |
Penduduk Kota Jakarta membengkak 6-7 kali lipat di hari kerja. Bisa ditebak, jumlah kendaraan yang beredar di jalan raya pada jam berangkat dan pulang kerja juga meningkat drastis sehingga kemacetan pun terjadi dimana-mana.
Selain memilih opsi transportasi publik, masyarakat bisa memilih opsi bersepeda ke kantor seperti opsi yang suami saya pilih. Pengendara sepeda juga tidak mesti harus sepenuhnya menggunakan sepeda saat ke kantor, tapi bisa juga combo menggunakan MRT yang sudah sangat bike-friendly.
Dari Cinere, suami menggenjot sepeda lipatnya sampai ke stasiun Fatmawati. Kemudian ia naik MRT bersama sepedanya hingga stasiun Dukuh Atas. Setelah itu, ia menyelesaikan perjalanan ke RSCM kembali dengan menggenjot sepeda.
Opsi ini selain sebagai wujud bentuk kita mengurangi dampak terjadinya perubahan iklim, secara tidak langsung juga lebih sehat karena membuat pelakunya olahraga kardio hampir setiap hari!
3. Menggunakan kendaraan pribadi hanya saat penggunaan transportasi publik tidak memungkinkan
Realistis saja, opsi penggunaan kendaraan pribadi bisa menjadi opsi terbaik, salah satunya jika ingin bepergian dengan keluarga. Apalagi jika jarak tempuh cukup jauh.
Dengan tidak menempatkan penggunaan kendaraan pribadi sebagai prioritas pertama, setidaknya kita menjadi lebih bertanggung jawab saat menggunakan kendaraan pribadi.
4. Hemat BBM
Salah satu yang dapat kita lakukan agar lebih
mindful saat menggunakan kendaraan pribadi adalah hemat BBM.
Langkah-langkah Hemat BBM pernah saya tulis di blog ini. Beberapa langkah yang bisa ditempuh adalah mengisi jenis bahan bakar sesuai dengan jenis mesin mobil, melakukan servis berkala, memastikan ban tidak kempes, tidak membawa beban berlebihan dan menerapkan
eco-driving.
Banyak masyarakat yang memilih menggunakan Premium (RON 88) dengan dalih lebih murah. Padahal, penggunaan bahan bakar RON 88 di kendaraan dengan jenis Euro 2 dan Euro 3 malah akan merusak mesin mobil dan membuat pembakaran tidak sempurna. Pembakaran tidak sempurna ini juga akan membuat penggunaan bahan bakar fosil menjadi boros.
Alih-alih ingin berhemat, selamat, kamu sudah berpartisipasi dalam memperburuk perubahan iklim!
Bagaimana dengan penggunaan mobil listrik?
Penggunaan mobil listrik dilabeli sebagai sebuah cara untuk mengerem laju perubahan iklim. Tapi tepatkah jika digunakan di Indonesia?
Nyatanya, kita juga harus berpikiran realistis. Tahukah kamu bahwa energi fosil menyumbang 85% listrik di Indonesia menurut Tirto? Pembangkit Listrik Tenaga Batubara menempati posisi pertama sebagai sumber listrik di Indonesia yang menyuplai sebanyak 49,67% total kapasitas nasional. Posisi berikutnya dipegang oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbasis energi fosil. PLTU menyuplai sebanyak 6,47% kapasitas kapasitas terpasang.
Memperbaiki kualitas udara Kota Jakarta = berpartisipasi dalam mencegah kenaikan suhu global
Ancaman terjadinya iklim sudah di depan mata. Kita tidak bisa diam saja, apalagi menafikannya. Semua lapisan harus bergerak, mulai dari masyarakat, industri, hingga pemerintah. Memang penelitian yang menghubungkan antara polusi udara yang disebabkan oleh kendaraan bermotor dan kesehatan masih terbatas, tapi bukan tidak mungkin akan banyak penelitian-penelitian serupa yang akan mempertegas hubungan tersebut.
Jika semua pihak saling bersinergi dan bahu-membahu untuk mencegah terjadinya perubahan iklim seperti yang menjadi visi Paris Agreement, bukan tidak mungkin bumi kita kembali menjadi lebih sehat.
Kita bukan akan egois, tapi kita sedang menyiapkan bumi ini menjadi lebih layak untuk anak dan cucu kita. Oleh karena itu, masalah perubahan iklim ini adalah milik semua kalangan, mari kita lakukan yang terbaik #UntukmuBumiku. It’s time for #TeamUpforImpact !
Referensi
Data BPLHD 2009
Hong Chaopeng, et al., 2019. Impacts of Climate Change on Future Air Quality and Human Health in China. PNAS. 116 (35) 17193-17200
Ismiyati et.al., 2014. Pencemaran Udara Akibat Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor. Jurnal Manajemen Transportasi & Logistik Vol.1 No.3
https://www.epa.gov/climate-indicators/climate-change-indicators-heavy-precipitation diakses 19 April 2022
http://kaltim.litbang.pertanian.go.id diakses 18 April 2022
https://www.health.ny.gov/environmental/indoors/air/pmq_a.htm#:~:text=Particles%20in%20the%20PM2.5%20size%20range%20are%20able%20to,nose%20and%20shortness%20of%20breath diakses 19 April 2022
https://www.un.org/en/climatechange/science/key-findings diakses 18 April 2022
https://unfccc.int/process-and-meetings/the-paris-agreement/the-paris-agreement diakses 19 April 2022
https://tirto.id/energi-fosil-sumbang-85-listrik-ri-per-mei-2020-terbanyak-pltu-fU1K diakses 20 April 2022
Thobarony, Zeneth Ayesha. 2013. Penggunaan Artificial Neural Network sebagai Metode Prediksi Konsentrasi Ozon di Jakarta. Tesis ITB
WHO. 2021. WHO global air quality guidelines: particulate matter (PM2.5 and PM10), ozone, nitrogen dioxide, sulfur dioxide and carbon monoxide.
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/345329/9789240034228-eng.pdf