"Kok orang-orang kayaknya terencana banget ngasih nama anaknya. Semacam hasilnya kayak rangkaian nama yang apik." Ujar saya dalam hati saat hamil.
Bagaimana saat kami menamai ketiga buah hati kami? Penuh dengan rangkaian penuh makna? Nama dengan awalan sama? Nama dengan singkatan sama? Atau malah nama yang kepikiran saja?
Cerita H1
Saya mulai memikirkan soal nama sejak diketahui prediksi jenis kelamin janin. Yha, kurang lebih saat usia kehamilan 20 minggu. Sejak itu, saya mulai sering mencari inspirasi nama anak di dunia maya. Tidak tiap hari mencari sih, kalau kepikiran ya Googling. Minggu depan kepikiran lagi, Googling lagi. Tentu saja keyword Google "kumpulan nama anak" selalu muncul di top pencarian 🤣.
Sebenarnya saya tidak bingung mau memberi nama apa. Di pikiran saya cuma 1: Khalid.
Kenapa? Tidak lain dan tidak bukan saya penyuka sejarah, lebih tepatnya seputar perang. Nama "Khalid" berasal dari "Khalid bin Walid" alias jendral perang jaman Rasulullah yang terkenal tidak pernah kalah.
Nah, nama "Khalid" sudah mbuled tuh, berarti tinggal cari 1 kata lagi. Kata pertama "Khalid" dan kata ketiga nama keluarga suami. Cuma mau 3 kata saja karena tidak mau kepanjangan, nanti kasian anaknya susah ngebuletin kertas ujian, hehe. Tidak juga satu dan dua kata karena tidak mau ribet pas buat paspor nantinya.
Saat semester 3, saya mulai mengajak suami diskusi perihal pilihan nama untuk anak. Entah suami mengawang atau gimana, intinya belum ada shortlist apalagi keputusan. Sebulan menjelang perkiraan kelahiran, tiba-tiba suami bertanya ke ibunya,
"Mami mau nama apa?""Hasan." Ucap mama mertua.
Saat di rumah, saya mulai mengajak suami diskusi soal nama anak. Ini mau dikasih nama apa, sudah tinggal sebulan, lho!
"Namanya Hasan ya."
hah, lho, kok gitu.
Saya protes donk, kan udah dari kapan tau bilang mau kasih nama "Khalid" untuk kata pertama buat si jabang bayi sejak ketahuan jenis kelaminnya. Kesal lah saya. Ini antara ga nyimak atau ga ngaggap atau apa sih.
"Ini cucu pertama, kita ga ada hak ngasih nama."
Dhuar. Apa-apaan ini maksudnya. Coba terangkan lagi apa maksud tidak ada hal memberi nama. Memang ini anak siapa.
"Memang dulu di kamu anak pertama ngasih nama sendiri?", lanjut suami.
Ya iyalah, kalau dikasih nama sama nenek-kakeknya, nama abang ga akan "Yvezz". Too weird pre-boomer generation.
"Kamu kira namaku darimana?", ujar suami lagi.
Seketika ingat saat mertua cerita bahwa suami sempat diberi nama Adisa Jusuf Habibie R., tapi ga jadi karena kepanjangan, akhirnya jadilah hanya "Yusuf" yang dipakai. Kebetulan neneknya suami adalah teman dekat pasangan suami istri Habibie-Ainun (di film namanya disebut kok, coba tebak? 😃). Tentu saja nenek-kakeknya suami ingin memberikan nama itu.
"Yha, tapi kan nama Yusuf di tengah, kata kedua. Bukan kata pertama." Ucap saya dalam hati.
Long story short, perdebatan tidak kelar, akhirnya saya agak withdraw dengan mengusulkan agar nama "Khalid" ada di tengah.
Jadi artinya lahiran fix udah punya nama kan? Belum tentu.
Pasalnya, sampai si sulung lahir pun keputusan belum bulat. Karena sibuk gelagapan jadi orangtua baru, perbincangan soal nama anak mau jadi siapa belum sepakat.
Sampai 2 hari menjelang akikah. Kebetulan keluarga kami sepakat tentang dalil akikah 7 hari setelah kelahiran bayi yang ditandai dengan mencukur rambut bayi dan mengkonversikannya menjadi berat perak. Tanpa perayaan. Mulai lah kami kelimpungan kembali memikirkan soal nama. Aduh gimana ya, apa ganti nama? Apa rangkai gabungin nama dalam 1 kata?
Akhirnya yang kami lakukan adalah menjadikan akikah sebagai buying time mensepakati nama resmi, alias 7 hari setelah kelahiran adalah 7 hari kegalauan memikirkan nama 🤣. Ternyata bukan cuma kami yang begitu. Beberapa teman dan keluarga juga ada lho yang begitu. Apakah kamu juga termasuk? 😃
Saat akikah entah saya pasrah atau gimana, saya menunggu ada yang bertanya,
"Jadi namanya siapa?", lupa entah siapa bertanya
"Hasan Khalid R."
Oh jadi itu namanya. Yaudah, ga kecewa juga karena sudah banyak melalui perdebatan hehe. Anggap saja akikah adalah momentum pengambilan keputusan terakhir 😃.
Ternyata pemberian nama Hasan ini memberikan ide kepada kami bagaimana cara menamai sampai beberapa anak berikutnya.
Cerita H2
"Kak, itu keren deh semua nama anak-anak bisa ha, sin, nun (dalam Bahasa Arab) semua. Udah direncanain ya?" Tanya salah seorang saudara.
Dalam hati pun tertawa terbahak. Noooo. Ide penyeragaman itu baru terjadi setelah keluar resmi nama anak pertama yang dalam prosesnya pun, yaudahlah ya.
Berawal dari H1 yang pertama saya pakaian baju bodysuit warna orange-hitam garis-garis alias kayak lebah. Maka entah bagaimana, kami sering menyebutnya "bee" dan berlanjut terus berkesinambungan. Even anaknya udah 3 tahun dan tentu baju lebahnya sudah kekecilan, tetap suka kami sebut "bee".
Menjelang usia kehamilan 20 minggu, disitulah saya deg-degan. Karena sudah punya anak laki, pasti pengen anak perempuan donk, setidaknya biar sepasang. Alhamdulillah dokter menyatakan bahwa janin berpotensi besar memiliki jenis kelamin perempuan. Kami pun bersorak (dalam hati). Seperti biasa, dimulai lah perjalanan saya mencari nama anak kedua, dengan proses seperti nama anak pertama alias banyak gugling. Saya juga merangkum shortlist nama-nama yang berpotensi digunakan. Maka saya ajukan lah daftar itu ke suami.
Tapi perkara jungkir balik gugling. saya kembali diguncangkan dengan celetukan suami,
"Bilqis kayaknya oke nih! Bilqis, Bee-lqis."
Udah, gitu aja. Saya benaran setuju 🤣. Maka jadi lah satu kata calon nama anak pertama. Tinggal mencari 1 kata lagi. Tidak lama berlanjut, terlontar lagi ide-ide random seperti,
"Hasan, lucu kayaknya nama berikutnya H lagi.", lupa entah siapa yang bilang ini.
Maka saya kembali berkutat dengan mesin pencarian Google, kembali menyodorkan shortlist nama berawalan H kepada suami.
"Hasna. Ini aja deh, biar sama-sama huruf ha, sin, dan nun."
Saya pun langsung setuju 🤣. 2 kata nama sudah ada, maka jauh sebelum H2 lahir, kami sudah sepakat soal nama, tidak menunggu mengulur waktu lagi di akikah.
Cerita H3
Pola ha, sin, nun, sudah ada. Otomatis variasi nama anak berikutnya tinggal mengikuti saja 🤣. Hasan dan Hasna sudah, berarti masih ada opsi Husain, Husni, Hasna, dan Hasanah. Tinggal menyesuaikan jenis kelamin saja.
Maka kami tetap menunggu waktu penentuan di usia kehamilan 20 minggu. Suami tidak sengaja terlihat menunjukkan keinginan memiliki anak laki-laki kembali. Makanya sering si sulung ditanyakan oleh suami,
"Hasan mau adik Husain atau Husna?"
Pola Ha, Sin, Nun sudah diketahui oleh keluarga besar, jadi selalu ditanyakan apakah sudah tahu Husain apa Husna.
"Ternyata Husna", jawab kami.
Yak, dari nama yang bingung di anak pertama, sekarang dari usia kehamilan 20 minggu sudah ada 1 nama fix. Husna. Tinggal memikirkan nama tengah saja. Tentu kembali ke rutinitas "Google is my friend". Namun, sebelum saya mengumpukan shortlist calon potensi nama tengah anak ketiga, saya terngiang-ngiang ucapan keluarga dari pihak suami.
"Ih, mirip bapaknya, dulu dia sebut dirinya sendiri "adila" karena tidak bisa mengucapkan s".
Dhuar,, Fix. Adilla. Itu nama tengah anak ketiga ini, ujar saya dalam hati. Saya pun mengusukan ide "brilian" ini ke suami.
"Oke."
Lah, gitu doank, dia juga dengan gampangnya setuju 🤣. Nama anak ketiga pun sudah disepakati sejak sebelum ia lahir. Padahal H3 lahir super mendadak, minggu ke-36 mungkin?