Meski keluarga kami memiliki mobil, berwisata dengan menggunakan transportasi umum adalah hobi saya. Lebih tepatnya saya menaruh renjana perihal transportasi umum terutama di Jakarta.
Jaman awal baru nikah, dengan senang hati saya menggunakan transportasi umum ke RSCM dari rumah kami di Lebak Bulus demi janjian ke PRJ setelah suami selesai bertugas sebagai seorang residen. Saya denga semangat mencari tahu alternatif transportasi umum menuju ke sana. Mulai dari angkot, bus kota, hingga Trans Jakarta semua dijajal.
Saat kami baru mempunyai satu anak, berpelesir menggunakan transportasi umum juga masih cukup mudah. Apalagi pada tahun 2018 kami kerap keluar kota traveliving . Mencari tahu berbagai rute transportasi umum di luar kota juga dengan senang hati saya jabanin. Pun, anak pertama kami merupakan anak teladan yang sangat mudah diajak kemana-mana serta tidak rewel.
Pandemi pun tiba, tahu-tahu setelah pandemi usai anak kami sudah tiga orang. Saya dan anak-anak biasanya jalan-jalan di dalam kota menggunakan mobil. Sampai suatu saat saya ingin mengajak anak-anak untuk mengunjungi Taman Literasi Martha Tiahahu di bilangan Blok M.
Blok M? Itu kan titik pertemuan transportasi umum. Kayaknya menarik nih kalau ke Taman Literasi naik transportasi umum!
Meski bersama 3 anak dan harus bawa satu kereta kembar. Bisakah?
Kegalauan sebelum menyusun rencana perjalanan
Sebenarnya, keinginan mengunjungi taman literasi bersama anak (-anak) menggunakan transportasi umum sudah saya utarakan kepada suami seminggu sebelumnya. Rencananya sih hari Jumat karena pada hari itu si sulung pulang cepat. Lebih cepat dari anak SD, pukul 9.40 hehe.
Namun kepastian rencana tidak muncul jua hingga h-1 perjalanan. Lebih tepatnya malam sebelum esoknya berangkat. Kenapa? Kok terkesan bimbang ya, padahal harusnya jalan-jalan dengan anak terlebih menggunakan transportasi umum harus direncanakan dengan matang.
Kegalauan 1: Berdua dengan sulung atau bawa semua anak
Karena tujuannya adalah taman literasi, sempat kepikiran saya cuma ingin berdua quality time bersama si sulung menggunakan transportasi umum di Jakarta. Saya merasa bawa anak tengah dan anak bungsu tidak akan terasa chill karena mereka tidak bisa berlama-lama santai dibacakan buku.
Pengennya sih sulung sama saya baca buku masing-masing. Keputusan awal sempat ingin berdua saja pergi. Lumayan sudah lama tidak berduaan saja dengan si sulung.
Ternyata menjelang hari perjalanan, keputusan berubah drastis karena ternyata si sulung libur di hari Jumat karena guru-guru persiapan pembagian rapor tengah semester. Rencana perjalanan pun berubah dengan membawa ketiga anak turut serta ke taman literasi menggunakan transportasi umum di Jakarta. Kita bisa berangkat lebih pagi sehingga perjalanan lebih terasa santai.
Kegalauan 2: Bawa stroller single apa kembar
Kegalauan berikutnya yang membuat saya condong tidak membawa anak tengah dan bungsu adalah perihal bawa stroller karena jarak usia keduanya hanya terpaut 1,5 tahun, yaitu 2 tahun 3,5 tahun.
Opsi pertama adalah hanya membawa stroller single. Namun itu artinya saya harus standby bawa baby carrier saat sang kakak capek berjalan atau ingin istirahat tidur.
Opsi kedua adalah membawa kereta kembar. Sebenarnya mobilitas paling enak membawa twin stroller alias kereta kembar samping-sampingan. Namun, ada 3 aspek yang saya khawatirkan: perjalanan di pinggir jalan, naik MRT, dan naik Trans Jakarta.
Naik MRT paling tidak perlu dikhawatirkan karena saya tahu persis ada akses lift naik turun peron sehingga memudahkan mobilisasi saat menggunakan stroller kembar.
Masalah berikutnya adalah perjalan di pinggir jalan. Saya skeptis benar dengan kondisi trotoar di Jakarta, sudah jelas tidak ramah pejalan kaki. Kalaupun ada, ukurannya pasti kecil dan tidak muat jika harus menggunakan twin stroller. Untuk mengevaluasinya, saya menggunakan fitur Google Map Street View untuk mengetahui kondisi trotoar. Alhamdulillah, sepanjang pemantauan, trotoar di bawah peron MRT Blok M lebar dan enak untuk mendorong stroller kembar. Pun, lokasi taman literasi benar-benar tepat disamping peron stasiun MRT Blok M.
Akhirnya saya berangsur-angsur yakin pada pilihan membawa stroller kembar karena menurut saya opsi itu paling dinamis dan membutuhkan tenaga tidak sebanyak jika harus (hampir) full menggendong si bungsu di gendongan.
Kegalauan 3: Naik Trans Jakarta atau tidak
![]() |
Sumber: TransJakarta |
Kegalauan ketiga yang berkaitan dengan kegalauan kedua, jika saya membawa twin stroller maka bagaimana saya naik-turun bus?
Saya tau persis ada bus Trans Jakarta jurusan Blok M - Pondok Labu. Dulunya itu merupakan Kopaja 64 yang sering saya gunakan beberapa tahun silam. Bus ini lah yang akan kami gunakan dalam perjalanan.
Tantangannya adalah bagaimana kami naik-turun bus Trans Jakarta dengan hambatan adanya 2 anak duduk di kereta kembar?
Saya tahu betul, tidak semua trayek Trans Jakarta yang naiknya menggunakan halte bus yang platformnya naik sehingga rata dengan pijakan di dalam bus. Untuk memastikan ketidakyakinan saya, maka saya kembali menggunakan Google Map dengan cara mencari tahu letak halte bus beserta trayek bus yang melewatinya. Tepat dugaan saya, jenis halte tersebut tidak tersedia di halte yang akan saya naiki, alias harus naik manual dari aspal jalanan.
Terbersit di benak saya untuk menurunkan anak-anak terlebih dahulu dari stroller dan kemudian mengangkat stroller dan menuntun anak-anak naik. Namun saya merasa skenario tersebut tidak mumpuno karena memakan waktu lama, ribet, dan mobilitas yang tidak baik. Anak-anak rawan tercecer!
Malam sebelum perjalanan, akhirnya saya membulatkan niat agar kami pulang pergi menggunakan MRT saja yang pasti lebih gampang naik-turunnya.
Menyusun rencana perjalanan
Asli, rencana perjalanan baru disusun malam sebelum perjalanan haha. All hail impulsivity!
Sembari menemani anak tidur, saya sibuk melihat Google Map untuk memastikan gambaran jalanan, menentukan lokasi pemberhentian halte MRT dan Trans Jakarta, hingga mencari tempat makan siang yang nyaman buat anak tapi dalam jangkauan jalan kaki dari taman literasi.
Akhirnya saya memutuskan untuk memarkir mobil di RS Setia Mitra Fatmawati, tempat suami saya praktik. Yuk, yang mau ke dokter Ortopedi bisa lho konsultasi sama suami tiap Senin dan Jumat sore atau Sabtu pagi (lha, promosi)!
Kemudian dari sana kami naik MRT melalui stasiun Cipete hingga Blok M. Karena waktu panjang, saya memutuskan untuk cuci mata di supermarket Papaya Blok M, kemudian ke taman literasi sembari menyusuri “Little Tokyo” Blok M. Jam makan siang, baru kami makan di Twin House yang terletak di seberang Taman Literasi dan sebelah tempat nongkrong kekinian MBLOC.
Meski memutuskan pulang naik MRT, tapi saya tetap membuat rencana (cadangan) impulsif naik Trans Jakarta dengan naik dari titik halte di depan persis Taman Literasi. Alih-alih berhenti di halte Ciremai yang berlokasi di depan RS Setia Mitra, saya memutuskan untuk berhenti di halte Stasiun Cipete karena akan lebih mudah menyeberang ke sisi RS Setia Mitra dengan menggunakan lift Stasiun Cipete.
Setelah mengkomunikasikan rencana ini ke suami, ia menolak (sebagian)!
“Kenapa harus mutar-mutar dulu ke Papaya sih? Kamu bawa anak-anak lho, standarnya harus dikurangi.”, keluh suami.
Suami cuma mengizinkan agar kami langsung menuju Taman Literasi, pergi makan siang, dan segera kembali.
Apakah perjalanan lancar sesuai yang direncanakan dan disiapkan?
Berwisatan ke Taman Literasi membawa 3 anak dengan menggunakan transportasi umum di Jakarta
Sesuai rencana, kami berangkat dari rumah jam 9 pagi. Jalanan lengang dan kebetulan mobil saya genap, jadi sesuai dengan tanggal genap karena harus melewati jalur ganjil genap Fatmawati. Parkiran mobil di RS Setia Mitra juga masih lengang sehingga saya dengan mudahnya memarkirkan mobil.
Setelah menaikkan dua anak di stroller kembar, saya mendorong stroller dengan si sulung mengiringi saya. Saya di sisi luar, sulung di sisi dalam. Pada awalnya, perjalanan mendorong stroller di trotoar cukup nyaman karena trotoar yang cukup lebar. Namun mendekati stasiun Cipete, trotoar mengecil dan banyak tiang-tiang sehingga beberapa kali saya harus turun dari trotoar dan mendorong stroller di jalur sepeda.
Alhamdulillah perjalanan aman dan kami mampir dulu ke Holland Bakery yang berlokasi di bawah stasiun Cipete untuk membeli roti bekal anak-anak. Lokasi lift Stasiun Cipete MRT berada di ujung utara sehingga kami harus ekstra jalan.
“Mau tujuan kemana bu? Mau jalan–jalan ya?”, tanya beberapa petugas di Stasiun Cipete dengan ramah.
Mungkin karena melihat suasana kami mode pinik dengan 3 anak bersama. Hasan benar-benar membantu kesuksesan perjalanan. Selain dia mandiri tapping kartu sendiri, ia juga membantu menekan tombol lift dan menjaga adik-adiknya.
Salut sama petugas-petugas Stasiun MRT. Mereka ramah, informatif, bahkan petugas yang ada di peron membantu saya mendorong stroller kembar masuk ke MRT karena sempat seret. Kami pun turun di Stasiun Blok M yang hanya berjarak 3 stasiun dari Stasiun Cipete. Setelah tapping, ternyata tarifnya Rp 5.500 per-orang.
Setelah turun menggunakan lift, ternyata kami benar-benar berada di depan Taman Literasi! Benar kata suami, ini mah tidak usah ribet-ribet mutar ke Supermarket Papaya yang berlokasi di Selatan Taman Literasi. Kami pun segera mengeksplorasi Taman Literasi
Taman Literasi Martha Tiahahu
Taman Literasi Martha Tiahahu adalah taman lama yang direvitasliasi. Bentuk utamanya adalah Rotunda (bentuk melingkar) dimana sisinya dibagi menjadi 4 bilik utama. Di atas keempat bilik tersebut balkon yang bisa dinaiki, cocok untuk menikmati suasana. Di tengah Rotunda ada kolam dan panggung yang berpotensial diadakan banyak acara. Di luar Rotunda namun tetap di dalam komplek adalah area terbuka hijau dengan satu area mini dimana terdapat instalasi buat anak beserta mini wall-climbing.
Intinya, Taman Literasi Martha Tiahahu ini benar-benar ditujukan untuk membaca atau kegiatan serupa. Selain itu, relatif tidak ada kegiatan yang bisa dilakukan.
Sayangnya, entah masih baru atau bagaimana, Taman Literasi ini masih kurang sponsor. Dari 4 bilik, hanya ada satu bilik aktif digunakan kegiatan membaca. Bilik kedua rencana digunakan lokasi co-working, bilik ketiga adalah bilik sponsor dengan hanya ada satu rak buku kecil, dan bilik keempat yang difungsikan sebagai sentra vaksinasi.
![]() |
Bilik pertama: Lounge membaca |
![]() |
Bilik kedua: Coworking |
![]() |
Bilik ketiga: sepi sponsor |
![]() |
Bilik keempat: Sentra vaksinasi |
Kami pun menghabiskan waktu di bilik membaca. Menurut saya, bilik ini nyaman sekali untuk membaca. Sepanjang dinding ada rak buku sampai langit-langit dengan koleksi buku yang lumayan buat dewasa dan anak-anak. Ada area lesehan dengan bean bag, meja-kursi dimana banyak bekerja menggunakan laptop, hingga beberapa jajaran sofa.
Si sulung mengambil buku Dinosaurus dan membacanya sambil minta saya menemaninya untuk berdiskusi. Satu buku ia lahap habis, sementara para 2 gadis asik main di bean bag setelah bosan baca buku dan menyusun balik.
Setelah selesai membaca buku, jam makan siang hampir tiba dan kami bergegas di Twin House sebelum kehabisan tempat.
Twin House
Ternyata hanya sesederhana menyeberang simpang V saja sudah sampai Twin House. Saya mendorong stroller kembar sembari menginstruksikan Hasan untuk memegang stroller saat menyeberang.
Twin House yang memiliki aksen interior kuning ini merupakan cabang dari Cipete. Meski areanya lebih kecil dari cabang Cipete, terdiri dari indoor dan outdoor. Meja indoor sedikit sekali dan saat kami datang semua meja indoor sudah direservasi kecuali satu area. Rejeki kami!
Saya memesan spaghetti carbonara untuk para gadis dan nasi ayam goreng madu untuk si sulung. Saya? Makan sisa makan mereka saja hehe. Selain untuk berhemat, saya lagi tidak ingin mengeluarkan uang untuk (terlalu) banyak makan karbohidrat.
Tidak ada makanan yang tidak enak! Si sulung senang sekali dengan makanannya sehingga ia menghabiskan satu piring padahal itu porsi dewasa. Ayam goreng yang sudah bersalut dengan saus madu sangat cocok dipadu dengan saus tartar dan bayam crispy. Begitu pula dengan spagettinya, saus creamynya top! Lembut, silky, dan umami. Proporsionalnya sempurna banget. Para gadis juga lahap sekali makannya.
Setelah makan, kami pun bergegas pulang karena si sulung sudah menagih (jatah) bermain tab di rumah 😅.
Perjalanan Pulang
Dari saat merencanakan perjalanan, 80% keputusan adalah kami pulang menggunakan MRT. Ternyata opsi yang saya pilih adalah sisa 20% itu.
Saat menyeberang kembali menuju Taman Literasi, tiba-tiba Bus Trans Jakarta lewat di halte pemberhentian.
"Hasan mau naik bus aja ga pulang?" Tanya saya pelan."Mau banget!" Pungkas Hasan.
Akhirnya kami pun menunggu di halte sambil otak saya berputar menyiasati bagaimana mengangkut stroller kembar dan para gadis di atasnya. Setelah 5 menit menunggu, bus Trans Jakarta jurusan Pondok Labu - Blok M datang.
Untungnya, ini adalah bus besar dengan pintu tengah lebar dan tidak ada tangga. Setelah pintu bus terbuka, tanpa tedeng aling-aling saya langsung mengangkat stroller kembar beserta 2 anak di atasnya.
Itulah ibu-ibu, pentingnya strength training supaya form benar saat mengangkat beban berat seperti ini haha 😁.
Kami duduk di kursi dengan tanda penumpang berkursi roda. Saya sempat celingukan mencari tahu dimana saya harus tapping kartu e-money. Ternyata ada di depan di samping supir! Setelah mengerem stroller dan berpesan ke sulung kalau saya mau nitip adik-adiknya, dengan lari kecil saya bergegas ke depan dan tapping 2 kali. Rp 3.500 saja per orang dari ujung blok M ke Pondok Labu, wow!
Alhamdulillah lalu lintas lancar, para gadis pun tertidur di stroller. Mendekati Stasiun Cipete, saya dan si sulung bersiap-siap turun. Karena sudah pernah menaikkan stroller kembar beserta anak-anaknya, pede donk saya menurunkan stroller.
Sampai saya turun dan melihat kondisi jalan....
Yak! trotoar di depan kami sempit dengan pembatas pagar terpampang nyata.
Taruh stroller di trotoar 👎
Taruh stroller di atas aspal jalan 👎
Akhirnya saya harus menggotong stroller kembar beserta dua anak tertidur di atasnya ekstra jalan 4 meter! Ada sisi cabang jalan sehingga saya bisa menaruh stroller di atas aspal.
Perjalanan setelahnya alhamdulillah gampang-gampang saja. Kami menyeberang jalan dengan cara naik lift via Stasiun Cipete, mendorong stroller kembali menuju mobil, memindahkan anak-anak ke mobil, dan voila, kami sampai di rumah.
Berhubung kami pulang setelah makan dan jam tidur siang para gadis, sepanjang perjalanan pulang saya bisa santai mengobrol bersama si sulung. Anak tengah bangun saat dipindahkan ke mobil sementara anak bungsu masih tidur kelelahan bahkan saat mobil sudah berhenti di garasi. Fyuh!
Apakah saya kapok?
Oh, tentu tidak! Soalnya seru banget hehe😁
Kebetulan saya memang tipe penyuka eksplorasi kota dan penggemar transportasi umum. Jalan sendiri, bersama satu anak, atau 3 anak sekaligus tetap menyenangkan. Meski terdengar repot, dari awal saya memang tidak ada kepikiran mengajak ART yang bekerja di rumah untuk turut serta dengan tujuan "ikut bantu-bantu". Entahlah, saya tipe penyendiri yang tidak ingin terlibat sosialisasi dengan orang selain keluarga saat santai dan ingin jalan-jalan seperti ini.
Jalan-jalan bersama anak juga diperlukan kemampuan untuk bersikap taktis dan adaptif jika hal-hal di luar rencana terjadi. Harus bersikap apa saat stroller kembar tidak muat di trotoar. Harus bagaimana jika ternyata harus terpaksa mengangkat beban berat. Intinya, bersiap dengan kemungkinan tidak enak, hehe.
So kids, let's another story of travelling!