Buku dikenal sebagai jendela dunia. Bagi saya, ada 2 aktivitas yang membuat saya seolah-olah pernah mengunjungi suatu tempat padahal belum, yaitu membaca dan berjalan-jalan via google map. Seperti yang Karl May lakukan di abad ke-20, berjalan-jalan melalui buku bacaan sampai bisa membuat novel dengan kondisi geografis yang sangat persis dengan aslinya.
Manfaat Membaca untuk Otak Anak
Pentingnya Menumbuhkan Growth Mindset bagi Anak
“Hasan gapapa? Santai aja, gapapa kok gagal, itu lumrah. Yang penting kita cari tahu kenapa kita gagal. Gagal itu biasa kok, malah itu sarana untuk menjadi lebih baik. Ada yang mau dibantu? Nanti coba ujian lagi ya!” Ujar saya saat mengetahui Hasan tidak lulus ujian kenaikan sabuk Taekwondo.
“Hasan, kecewa ya ga lulus ujian sabuk? Tidak apa-apa kok kecewa.” Percakapan pun saya mulai dari memvalidasi emosinya.
Mengenal Growth Mindset
Growth Mindset vs Fixed Mindset
![]() |
Sumber: Alterledger |
Tumbuh dengan growth mindset bersama Biskuat Academy
Growth mindset pada anak yang didukung oleh sumber daya
Saat Anak Mulai Terlihat "Matre"
"Ma, Hasan suka naik mobilnya A karena luas dan bagus. Hasan ga suka naik mobil lama", ujar Hasan tiba-tiba, sembari membuat jantung saya berdetak lebih cepat.
"Mobil lama maksudnya?" Tanya saya memastikan sambil berharap yang saya pikirkan salah.
"Hasan ga suka naik mobil Jazz sama Livina (yang merupakan mobil kami)."
Tahun 2022 ini Hasan genap 7 tahun dan pertama kalinya menjadi murid SD. Saat memilih SD, salah satu parameter adalah biayanya mulai dari uang pangkal hingga SPP bulanan. Salah satu alasannya selain agar ekonomi keluarga kami tetap stabil, kami ingin lingkungan pergaulan Hasan tidak beda dengan ekonomi kami.
Ternyata lingkungan pergaulan Hasan sesuai dugaan kami. Relatif setara meski tetap ada yang "di atas".
Kebetulan beberapa minggu terakhir ini diberlakukan kebijakan "shuttle" oleh sekolah. Jalanan di depan sekolah Hasan kecil sehingga saat jam antar dan jemput sekolah terjadi penumpukan kendaraan tidak tanggung-tanggung. Sudahlah numpuk, macet pula! Sebagai ilustrasi, jarak dari rumah ke sekolah Hasan hanya 2,5 km, tapi saat menjemput saya harus berangkat setengah jam sebelumnya! Kurang lebih sampai ke rumah kembali bisa makan total waktu 1 jam. Tentu saja, kendaraan antri menumpuk di sepanjang jalan depan sekolah Hasan kontan mendulang protes dari warga.
Akhirnya salah satu skenario untuk mengurai kemacetan adalah diberlakukannya "shuttle mandiri", alias tiap kelas mengorganisir sendiri jadwal shuttle dari kerelaan para orang tua yang menggunakan mobil kapasitas besar untuk menjemput anak dengan jumlah banyak sekaligus. Nantinya dengan kesepakatan internal, para orangtua menetapkan dimana titik penjemputan anak dari mobil shuttle.
Tentu saja anak-anak bahagia karena bisa ramai-ramai gaduh dalam satu mobil. Bahkan sebagian anak mengeluh kenapa trayeknya pendek sekali sehingga mereka hanya bisa bersama dalam jangka waktu pendek.
Namun, bagi sebagian anak menjadi ajang merasakan mobil temannya yang lain, termasuk bagi Hasan.
Sontak saja pernyataan Hasan di atas membuat saya sangat terkejut. Bagaimana mungkin, Hasan terbiasa "proletar" sejak kecil karena ekonomi keluarga kami masih belum stabil. Saya sering sekali mengajak Hasan naik angkutan umum kesana-kemari. Intinya, semua jenis moda angkutan umum sudah dirasakan Hasan. Hotel dari kelas rakyat sampai mewah juga sudah pernah ia rasakan. Selain itu Hasan juga bukan tipe anak yang merengek meminta sesuatu untuk dibelikan. Sampai belakangan ini sering terdengar,
"Ma, mau beli kartu pokemon di PIM kayak E"
Bahkan bisa berujung bad mood hingga setengah jam ke depan.
Bukan berarti ia matre
Jujur, memang awalnya saya terkaget-kaget dengan sikap Hasan belakangan ini. Namun saya berusaha berpikir jernih dan merasa mungkin Hasan sedang melewati fase "ledakan emosi". Apalagi ia punya kecenderungan FOMO (Fear of Missing Out), maka semakin terdoronglah alam bawa sadarnya menuntut agar ia bisa menyamai apa yang dilakukan dan dimiliki teman-temannya.
"Ajari dia kalau kita bukan ATM, ajari dia buat menabung!", respon suami setelah mendengar keluhan saya.
Memang betul, ini adalah momen yang tepat untuk mengajarkan anak mengendalikan diri dan mengajarkannya untuk menabung. Tidak semua yang diingini harus didapatkan. Tidak semua yang orang lain miliki harus kita miliki.
Hasan sejujurnya juga belum terlalu khatam perihal uang. Dia bisa menghitung uang cuma konsep konkretnya tetap belum 100% terbayang di otak dia. Buktinya, pernah beberapa kali dia menggunakan uang dan tidak minta kembalian dari sisa uang yang harus didapatkannya.
Akhirnya kami berencana untuk memberinya uang jajan secara harian dengan jumlah yang relatif kecil. Mungkin 2000 atau 5000 rupiah, menunggu didiskusikan dahulu bersama suami. Ia boleh membelanjakan uangnya setelah terkumpul, tapi harus memastikan bahwa tetap ada uang yang disisihkan untuk ditabung. Mungkin saya menuntut agar maksimal hanya boleh membelanjakan setengah dari uang yang didapatkannya.
Dari memberikan uang jajan, saya berusaha untuk mengajarkan bagaimana untuk selalu bersyukur, menahan diri dari nafsu membelanjakan, menabung, hingga berhitung.
Benarkah Boks Bayi Perlengkapan Sia-sia?
“Salah satu barang perlengkapan bayi yang paling tidak ada gunanya: Box bayi. Sudahlah mahal, ujung-ujungnya malah jadi tempat tumpukan barang” kata sebuah postingan di Facebook.
Fungsi Boks bayi
Boks bayi bagi keluarga kami
Pro-kontra boks bayi
Boks bayi atau tidak?
Abangku Guruku, Uniku Idolaku
“Tu, wa, tiga, epat, lima, ena, ujuh, lapaa, bilaaa, puluu,” ujar si bungsu yang belum genap dua tahun tempo lalu.
Paket laki dan perempuan
One, two, three, four, five, six, seven, eight, nine, ten!” Teriak si tengah yang berusia 3,5 tahun.
Paket ganjil dan genap
“Minuuuuuuum” rengek si tengah sebagai kode ke saya minta diambilkan minum yang CUMA berjarak 10 cm.